Bagi
kaum lelaki, menangis merupakan aib yang tidak dibenarkan. Kapan pun
dan di mana pun. Karena, walau bagaimana, kelelakian adalah merupakan
simbol ketangguhan dan keperkasaan. Merupakan suatu tindakan cengeng
jika tangisan menghiasi mata sang lelaki. Tindakan yang biasanya lumrah
bagi wanita, sebagai ungkapan perasaannya, baik karena kesal atau karena
rindu terhadap sang kekasih (suami) atau pun lainnya. Di hadapan Allah
swt, tidak ada yang perkasa. Tidak ada yang gagah berani dan tidak ada
pula yang hebat. Dia-lah yang memiliki segalanya. Sehingga tangisan di
hadapan-Nya, baik karena takut maupun rindu, merupakan simbol kehambaan
yang sudah seharusnya ditunjukkan oleh siapa pun. Sikap inilah yang ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. sebagai teladan sepanjang zaman.
Dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Suatu ketika, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
meminta Aku agar membacakan al-Qur'an kepadanya. (Dengan perasaan
malu), Ibnu Mas'ud mengungkapkan, "Bagaimana (mungkin) Aku membacakan
al-Qur'an kepadamu wahai Rasulullah !? padahal al-Qur'an ini diturunkan
kepadamu ". "Saya ingin mendengarnya dari orang lain" ungkap beliau.
Maka, Ibnu Mas'ud pun memulai bacaannya dari surah an-Nisaa'. Ketika
sampai pada ayat 41 yang berbunyi, "Maka bagaimanakah (halnya orang
kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari
tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas
mereka itu (umatmu)..". Rasulullah pun dengan lembut mengatakan, "Cukup". Ketika saya (Ibnu Mas'ud) menoleh kepadanya, ternyata air mata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sedang bercucuran. (HR.Bukhari dan Muslim).
Kalangan
sahabat sebagai siswa dalam madrasah Rasulullah, juga mewarisi sikap
demikian. Mereka adalah pribadi-pribadi yang cengeng di hadapan Allah
swt di malam hari, tetapi perkasa bak harimau di siang hari di hadapan
musuh dan di medang pertempuran.
Dari Anas radiyallahu ‘anhu,
ia melaporkan, “Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
naik mimbar. Ia kemudian berkhutbah seperti biasanya. Tetapi, khutbah
ketika itu tidak sama dengan khutbah Rasulullah sebelumnya. Nuansanya
berbeda. Beliau mengatakan, "Jika kalian mengetahui apa yang aku ketahui maka pasti kalian sedikit tertawa dan banyak menangis".
Sahabat-sahabat beliau pun menutupi wajah mereka sambil terdengar suara
seperti kerumunan lebah (karena suara tangisan mereka
(HR. Bukhari
dan Muslim).
Ummat
sebelum Islam (ahli kitab), yang beriman kepada Allah swt., juga
demikian keadannya. Keimananlah yang membuat mata mereka basah oleh air
mata kerinduan terhadap rahmat-Nya. Sebagaimana mereka
menitikkan air mata karena takut terhadap siksaan-Nya. Kondisi mereka
dideskripsikan oleh Allah swt dalam firman-Nya,
"Sesungguhnya
orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran
dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil
bersujud, Dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami, Sesungguhnya janji
Tuhan kami pasti dipenuh. Mereka tersungkur dengan muka mereka sambil
menangis sehingga Allah pun senantiasa menambah ke-khusyu-an (dalam hati
mereka)". (QS. al-Israa' : 107-109).
KEUTAMAAN MENANGIS KARENA ALLAH SWT.
Karena
tangisan merupakan simbol keimanan bagi orang mukmin, maka keutamaan
yang di milikinya sangat mengesankan. Sebut saja misalnya sebuah riwayat
yang dirilis oleh Abu Hurairah r.a. Ia mengabarkan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah menginformasikan
"Tidaklah
akan masuk nereka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah,
sehingga air susu kembali ke asalnya (tempat keluarnya). Debu peperangan
di jalan Allah swt tidak akan menyatu selamanya dengan asap api
neraka". (HR.Tirmidzi).
Bahkan
orang yang menangis ketika mengingat Allah dalam keadaan sendirian
dengan hati yang terpaut dengan Allah swt. termasuk dalam kategori
orang-orang yang mendapatkan naungan di akhirat nanti. Hari di mana
naungan tidak akan diperoleh kecuali mereka yang memiliki kedekatan
dengan Allah swt. Abu Hurairah melaporkan, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam pernah bersabda,
"Ada
tujuh golongan yang diberikan tempat bernaung pada hari (kiamat). Hari
di mana manusia tidak mempunyai tempat bernaung kecuali naungan-Nya :
Pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam nuansa ibadah kepada Allah
swt., orang yang tertambat hatinya dengan masjid, dua orang yang saling
mencintai karena Allah. Mereka berdua berkumpul dan berpisah karena
cinta karena Allah. Seseorang yang diajak (berbuat mesum) oleh seorang
wanita bangShallallahu ‘Alaihi Wasallam an dan berparas cantik, lalu ia
jawab, "Saya takut kepada Allah", seseseorang yang bersedekah dengancara
sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tidak menegetahui apa yang
dilakukan tangan kananya (ketika bersedakah), dan orang yang mengingat
Allah kala sendirian (dan dengan penuh ke-khusyu'an) , lalu matanya
basah (karena takut dan rindu kepada Allah swt.)". (HR.Muttafaq Alaihi).
Demikianlah tangisan yang di landasi dengan iman yang menghasilkan rasa rindu (raja') untuk bertemu dengan Sang Kekasih. Rasa yang juga dilapisi pula oleh rasa takut (khauf)
kepada-Nya karena adanya neraka yang merupakan simbol kemarahan-Nya.
Kedua faktor inilah yang berada dibalik tangisan orang-orang mukmin.
Walaupun sisi kerinduan yang paling mendominasi dirinya saat-saat air
mata membasahi wajahnya.
RAJA' (HARAP) DAN KHAUF (TAKUT) YANG MELAHIRKAN TANGISAN.
Raja' adalah ketenangan hati dan kedamaian jiwa karena mengharapkan sesuatu yang dicintai. Jika faktor-faktor pendukung raja'
ini sempurna maka ia akan menghasilkan tangisan yang mewujudkan
perasaan tenang dan perasaan tentram. Namun jika perangkat-perangkatnya
tidak padu dan tidak apik, ia akan menghasilkan pribadi yang terpedaya.
Pribadi yang berharap dengan harapan yang berlebihan kepada Allah swt.
sehingga lupa bahwa di samping rahmat Allah yang ia harapkan, juga di
sana ada kemurkaan-Nya yang harus dipertimbangkan dan dihindari. Untuk
peribadi demikian, tangisan tidak bisa hadir pada pelupuk matanya.
Perasaannya yang diselimuti oleh harapan akan rahmat Allah membuatnya
terlena. Sikap yang merefleksikan ketidakkeritisan terhadap kualitas
ibadah yang ia lakukan terhadap Zat yang diharapkan rahmat-Nya (Allah
Swt.).
Jika
sikap kritis ini tidak hadir pada diri seseorang ketika melakukan
amalan, maka kualitas ibadahnya tidak lagi maksimal. Sikap kritis ini
sering dikenal dengan istilah muraqabah. Yaitu sebuah aktifitas
yang mementingkan kritik ketika dan setelah melakukan amalan. Apakah
sudah layak dan pantas untuk dimajukan, dan bagiamana seharusnya pada
pase selanjutnya?. Sikap inilah yang disebut oleh Rasulullah sebagai
sikap cerdas seorang mukmin dalam beribadah. Dalam sebuah sabdanya,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam . menegaskan,
"Orang
yang cerdas adalah siapa yang selalu mengkeritisi dirinya dan beramal
(dengan malan yang baik) sebagai persiapan untuk (hidup) setelah mati
nanti (akhirat)." (HR. Tirmidzi)
Jika ditelusuri lebih mendalam, muraqabah ini merupakan implementasi dari sikap khauf
(rasa takut) seseorang jika amalannya belum pantas dan layak untuk
dipersembahkan. Baik ketidakpantasan itu dari segi kualitas maupun
kuantitas. Inilah yang sering kita dengar dari para ahli suluk bahwa
dalam rangka melakukan spiritual journey menuju Allah, hendaknya seseorang terbang dengan dua sayap, sayap al-khauf dan sayap al-raja'. Hanya saja, pada saat tertentu, seperti sakit misalnya, sisi al-raja' seharusnya lebih ditegaskan, karena nuansanya sedang berada pada level al-khauf. Demikian pula ketika sedang segar bugar, dengan nuansa al-raja' yang lebih mendominasi, sisi al-khauf perlu dihadirkan dan dipertegas keberadaanya.
Perangkat-perangkat al-raja' yang di maksud di sini, yang dengannya seseorang tidak terpedaya adalah :
1. Mencintai apa yang diharapkan (mahabbah).
2. Merasa khawatir jika kehilangan apa yang diharapkan (khauf).
3. Selalu berusaha untuk mendapatkannya (.raja’)
Setiap
orang yang berharap pasti merasa takut dan cemas jika tidak merasa
yakin bisa mendapatkan apa yang diharapkannya, dan bila orang yang
sedang berjalan merasa khawatir ketinggalan pasti ia berusaha untuk
berlari.
Raja'
adalan penantian terhadap sesuatu yang disenangi, setelah memenuhi
semua persyaratan yang butuhkan berdasarkan pada kemampuan seseorang. Raja'
di sini dikiaskan, misalnya, dengan penanaman tumbuhan. Semua orang
yang akan menanam pasti akan mencari lahan yang subur sebagai tempat
persemaian. Di sanalah benih dengan kualitas tinggi itu disemai.
Selanjutnya ia melakukan perawatan yang baik dan terus menerus sesuai
dengan kebutuhan dan tuntunan. Menyianginya dan menjaganya dari berbagai
serangan hama dan berbagai penyakit. Setelah itu, ia menunggu rahmat
Allah swt. hingga masa panen tiba. Inilah gambaran ideal dari sebuah
raja'. Dan raja' demikianlah yang dikehendaki setelah semuanya dilakukan dan diuapayakan.
Untuk
lebih kongkritnya, dunia adalah sebuah ladang, sedang hasilnya akan
dipanen pada hari akhirat kelak. Sementara hati itu layaknya bumi. Iman
laksana benih, ketaatan ibarat pengolahan tanah dan usaha untuk
menyianginya serta upaya untuk mengalirkan air kepadanya. Sedang hati
yang terpesona oleh dunia dan terbuai olehnya adalah seperti tanah
gersang yang tidak bisa menumbuhkan benih. Sementara pada hari kiamat
adalah waktu panen. Dan seseorang tidak akan memanen kecuali apa yang
pernah disemainya. Benih tidak akan tumbuh kecuali benih iman. Iman
sangat jarang memberi manfaat bila hatinya busuk dan akhlaknya buruk.
Demikianlah gambaran yang dilukiskan oleh Ahmad Farid dalam bukunya, 16 Langkah Menuju Puncak Kedamaian Jiwa.
KHAUF (RASA TAKUT) SEBAGAI PENYEIMBANG.
Jika raja' merupakan piranti kasih sayang yang dibukakan secara luas oleh Allah bagi hamba-Nya, maka khauf merupakan cambuk yang dapat memicu mereka untuk mendekat kepada-Nya. Memang benar, ujung dari raja' dan khauf
adalah kedekakatan dengan Allah. Karena memang untuk itulah jin dan
manusia diadakan di pentas kehidupan ini. Khauf merupakan kondisi
seseorang yang merasakan sakit dan terbakarnya hati akibat dari rasa
takut akan terjadinya sesuatu yang tidak menyenagkan di kemudian hari. Khauf-lah
yang berperan dan mengerem nafsu manusia dari keserakahan, angkara
murka dan dosa. Dia pula yang mengikat manusia untuk menunjukkan
ketaatan kepada Allah swt.
Khauf
sesungguhnya merupakan hasil dari pengenalan terhadap Allah swt
(ma'rifatullah). Pengenalan yang dihasilkan berdasarkan pada penelusuran
terhadap nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Allah swt. Ma'rifatullah
demikian akan merefleksiakan rasa takut sekaligus mewujudkan koreksi
diri seorang muslim akan hak-hak Yang Maha Agung, yang selama ini
diabaikan atau belum termaksimalkan. Dengan kata lain, dengan mengenal
Allah secara baik maka secara otomatis kekerdilan manusia akan tampak.
Baik kekerdilan itu sebagai mahluk lemah maupun kekerdilan amaliah dan
kepicikan tingkat kepatuhan terhadap Sang Maha Perkasa lagi Maha
Penyayang. Dengan demikian, orang yang paling takut kepada Allah swt
adalah orang yang paling mengenal dirinya setelah mengenal Tuhannya
sendiri. Maka tidaklah mengherankan jika Rasulullah sebagai penghulu
para nabi menegaskan, sebagaimana dirilis oleh Imam Bukhari dalam kitab
Shahih-nya, "Demi Allah, Sungguh aku adalah orang yang paling tahu tentang Allah dan paling takut kepada-Nya". (HR Bukhari).
Jika
kita mengetahui bahwa para ulama merupakan pewaris nabi, maka tentunya
pula kita menyadari bahwa ulama pulalah yang memiliki tingkat pengenalan
yang baik tentang Allah swt. Dengan pengenalan demikian mereka kemudian
menjadi mahluk yang paling takut kepada-Nya. Asumsi ini ditegaskan oleh
firman Allah yang berbunyi,
" Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama[1258]. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun".(QS Fathir : 28).
Jika
demikian, orang yang takut sesungguhnya bukanlah mereka yang mengusap
air matanya dan tidak pula yang sesegukan akibat tangisan yang menghiasi
wajahnya. Tetapi takut yang sebenarnya adalah mereka yang meninggalkan
hal-hal yang dikhawatirkan dapat menjerumuskannya ke dalam kubangan
siksaan.
Abu
al-Qasim al-Hakim berpesan, "Siapa yang takut dengan sesuatu, dia pasti
akan menghindari darinya. Dan siapa yang takut kepada Allah, dia akan
berlari menghindari siksa-Nya dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya".
As-Syibli berkata, "Setiap kali aku takut kepada kepada Allah, pasti
Aku melihat pintu hikmah dan pelajaran yang berharga". Yahya bin Muadz
mengatakan, "Setiap orang mukmin yang mengerjakan kemaksiatn, pasti ia
akam mensikapinya dengan dua cara : Takut terhadap siksaan dan berharap
adanya ampunan".
Khauf
akan membakar syahwat dan kenginan-keinginan terhadap perkara yang
haram. Sehingga kemaksiatan yang ia cintai berubah menjadi sesuatu yang
paling ia benci. Sebagaimana madu dibenci oleh orang yang sangat
menyenaginya manakala ia mengetahui bahwa terdapat racun padanya.
Syahwat akan terbakar oleh rasa khauf (takut). Bagian-bagian tubuhnya mempnyai tatakrama dan adab yang dipatuhi. Hatinya menjadi lahan subur bagi tumbuhnya ke-khusyu'an,
rasa hina dan rendah diri di hadapan Allah swt. Dia akan ditinggalkan
oleh kesombongan, dendam, iri dan dengki. Bahkan perhatiannya semakin
tajam, karena pengaruh rasa khauf-nya dan memeperhatikan terhadap
akibat dan sanksi yang ia peroleh jika melanggar aturan. Kini perasaan
selalu terawasi yang dikenal dengan sebutan muraqabah menjadi aktifitas baru yang dibarengi dengan usaha sungguh-sungguh yang disebut mujahadah untuk membersihkan jiwa dan lahiriahnya dari dominasi syahwat dan prilaku setan.
Demikan besar urgensi khauf, sehingga sikap ini menghasilkan petunjuk, rahmat, ilmu dan keridha'an Allah swt. Allah berfirman,
"Dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya". (QS. al-A'raf : 154).
Firman-Nya, "Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun". (QS. Fathir : 28).
Juga firman-Nya,
"Allah
ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. yang demikian itu
adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya". (QS.al-Bayyinah : 8).
Allah swt selalu mewanti-wanti agar menajadikan khauf
sebagai komponen mendasar dari keimanan yang hanya pantas ditunjukkan
kepada-Nya semata. Terhadap setan yang biasanya dijadikan simbol yang
ditakuti, Allah menegsakan bahwa, sikap takut itu seharusnya hanya
ditujukan kepada-Nya semata. Karena Dia-lah sesungguhnya yang pantas
ditakuti. Dengan rasa takut kepada-Nya, setan yang biasanya menggetarkan
jiwa menjadi tidak berarti apa-apa. Setan hanya pantas dikhawatirkan
jika seandainya mengelabui manusia dari jalur menuju Allah swt.(baca :
Kebenaran). Karenanya, Allah menegaskan,
"Sesungguhnya
mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu)
dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), Karena itu
janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaku, jika kamu
benar-benar orang yang beriman." (QS. Ali Imran : 175).
Selain faktor khauf dan raja'
yang menghasilkan tangisan, juga terdapat beberapa faktor yang
merupakan wujud lain dari kedua faktor di atas. Di antaranya, kesedihan
terhadap peristiwa lampau yang menyedihkan bersama teman seperjuangan
dalam meniti jalan Allah swt. Sikap demikian ditunjukkan oleh Abdul
Rahman bin Auf. Sebagaimana riwayat beliau berikut :
Artinya, ”Dari
Abdul Rahman bin ’Auf, bahwasanya, suatu ketika, saat ia disuguhi
makanan, padahal ia sedang puasa. (Sedangkan orang yang berpuasa
biasanya sangat mengharapkan makanan. Tetapi beliau teringat dengan
saat-saat yang dilewatiya bersama para sahabat utama yang telah syahid
lebih dulu. Dengan menganggap remeh dirinya dibanding mereka, beliau
mengatakan,) "Mush'ab bin Umair telah terbunuh, padahal ia lebih baik
dariku". Ketika ia meninggal, kain kapan saja susah didapatkan untuk
mengapaninya. Hanya sebuah kain burdah yang digunakan untuk itu. Jika
kain itu ditarik untuk menutupi kepalanya, maka kakinya akan tersingkap.
Tapi ketika kakinya ditutup dengan kain tersebut, maka kelihatanlah
kepalanya. Lalu dunia ini (dengan segala kenikmatannya) dibukakan
kuncinya, atau dengan redaksi lain, ia mengatakan, ”dunia ini telah
diserahkan kepada kami (untuk dikuasai secara politis). Namun Saya
khawatir kalau semua kenikmatan ini adalah kebaikan kami yang
disegarahkan balasannya di dunia ini”. Lalu beliau menangis
sejadi-jadinya hingga makanan tidak lagi disentuh olehnya”. (HR. Bukhari)
Mush'ab
bin Umair adalah seorang pemuda tampan yang hidup mewah bersama kedua
orang tuanya di Mekah pada masa jahiliah. Pakaiannya saja sangat
berkelas dan dipenuhi dengan aroma wewangian. Ia banyak diidolakan di
kota Mekah oleh banyak gadis. Tetapi setelah ia masuk Islam,
kehidupannya berubah drastis dengan berusaha menjauhi kemewahan dan
memilih hidup sederhana. Bahkan pakaiannya ada yang compang camping. Ia
ikut hijrah ke kota Madinah dan hidup di sana sebagai muhajirin.
Ketika perang Uhud berkobar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
menyerahkan bendera perang kepadanya. Di sanalah ia menemukan predikat
sebagai syuhada Uhud.
Abdul
Rahman bin Auf mengingat peristiwa itu kemudian mengatakan, "Mereka
(sahabat utama yang telah syahid) telah berlalu dan selamat dari godaan
dunia berupa harta rampasan perang yang begitu melimpah bagi generasi
belakangan". Kemudian ia melanjutkan, "Kami khawatir jika kebaikan kami
disegerahkan (balasannya di dunia berupa kenikmatan demikian)". Karena
memang orang kafir disegerahkan balasan kebikannya di dunia, sehingga di
akhirat kelak mereka hanya mendulang siksa yang tiada bertepian. Sedang
orang mukmin bisa jadi mendapatkan balasan kebaikannya di dunia maupun
di akhirat. Tetapi balasan akhirat itulah sesungguhnya yang lebih
penting. Beliau khawatir jika kebaikannya disegerahkan balasannya di
dunia ini, sehingga ia menangis penuh kekhawatiran dan harapan. Ia pun
meningalkan makanan.
Kasus lain yang mirip dengan kajadian tersebut di atas adalah riwayat yang disampaikan oleh Anas radiyallahu anhu.
Anas
melaporkan, ”Abu Bakar berkata kepada Umar radiyallahu anhuma, setelah
wafatnya Rasulullah saw, ”Ayo kita sama-sama pergi menemui Ummu Aiman
rdiyallahu anhuma, sebagaimana Rasulullah saw sering mengunjunginya.
Tatkala kami tiba dan bertemu dengannya, Ummu Aiman menangis (penuh
kesedihan). Abu Bakar dan Umar berkata kepadanya, ”Kenapa Anda menangis
?” Bukankah Anda tau bahwa keberadaan Rasulullah saw di sisi Allah itu
lebih baik. Ummu Aiman menjawab, ”Saya tidak menangis, saya juga tidak
tahu bahwa keberadaan Rasulullah saw di sisi Allah itu lebih baik. Saya
hanya menangis karena wahyu telah terputus dari langit. Maka, mendengar
ungkapan Ummu Aiman tersebut, Abu Bakar dan Umar pun tidak tahan menahan
cucuran air matanya. Mereka berdua pun ikut menangis bersama Ummu
Aiman”. (HR Muslim)
Orang-Orang Shalih Terdahulu Yang Menangis Karena Takut Kepada Allah
1. Abdussalam (mantan budak Maslamah bin Abdul Malik) berkata, “Umar
bin Abdul Aziz pernah menangis, lalu Fathimah ikut menangis. Namun
mereka tidak tahu apa yang membuat mereka menangis. Ketika mereka
selesai menangis, Fathimah bertanya, “Ya Amirul Mukminin, mengapa anda
menangis?” Umar menjawab, “Fathimah, aku teringat hari dimana manusia
dipisahkan dari hadapan Allah; satu kelompok di dalam Surga dan kelompok
lainnya di dalam Neraka.” Kemudian ia berteriak dan pingsan. [Hilyatul
Auliya' 5/269]
2. Apabila Umar bin Abdul Aziz mendengar pembicaraan tentang kematian,
maka tubuhnya menggelepar seperti burung dan menangis sampai air
matanya mengalir di jenggotnya.” [Hilyatul Auliya' 3/316]
3. Hani’ (mantan budak Utsman bin Affan) berkata, “Apabila Utsman bin
Affan berdiri di atas kuburan, ia menangis hingga jenggotnya basa oleh
air mata.” [Hilyatul Auliya' 1/61]
4. Malik bin Anas berkata, “Muhammad bin Munkadir adalah penghulu para
pembaca. Hampir setiap kali ada orang yang bertanya kepadanya tentang
hadits, ia selalu menangis.” [Hilyatul Auliya' 2/147]
5. Abu Ayyub al-A’raj berkata, “Sa’id bin Jubair selalu menangis di malam hari sampai rabun.” [Hilyatul Auliya' 4/272]
6. Sa’id bin Jubair berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih
perhatian terhadap kemuliaan Baitullah ini daripada orang Bashrah.
Pada suatu malam aku pernah melihat seorang wanita muda bergelayutan
pada tirai Ka’bah. Ia memanjarkan doa, menangis dan menghiba sampai
meninggal dunia.” [Hilyatul Auliya' 4/276]
7. Ali bin Abdillah berkata, Kami pernah bersama Yahya bin Sa’id
al-Qaththan. Ketika ia keluar dari masjid, kami pun keluar bersamanya.
Tatkala tiba di pintu rumahnya ia berdiri, dan kami pun berdiri. Lalu ia
berkata kepada seorang pria, “Bacalah!” Pria itu pun membaca surat
ad-Dukhan. Ketika ia mulai membaca aku melihat Yahya bin Sa’id berubah,
hingga ketika sampai pada ayat,
“Sesungguhnya hari keputusan itu adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka semuanya.”
[QS.ad Dukhan:40] Tiba-tiba Yahya menjerit dan pingsan. Ia baru siuman
setelah sekian lama. Kemudian kami menemuinya. Ternyata ia tengah
tertidur di atas pembaringannya serayas membaca, “Sesungguhnya hari keputusan itu adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka semuanya.” [QS.ad Dukhan:40]. Maka keadaan itu terus berlangsung sampai ia meninggal dunia. [Hilyatul Auliya' 8/383]
Demikianlah potret tangisan sahabat yang lahir dari rasa khauf dan raja-'nya kepada Allah swt. Semoga kita diberikan kemampuan menangisi dosa-dosa kita kepada Allah. Amin.Wallahu a'lam.
Sumber :
http://idrusabidin.blogspot.com