Aug 10, 11
Prolog
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada
Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Di bulan Ramadhan tahun ini, kami mendapat amanah untuk mengimami
shalat Tarawih dan Subuh di Masjid Agung
Darussalam Purbalingga selama lima hari. Masih dalam rangkaiannya,
kami ditugaskan untuk memberikan kuliah Tarawih
dan kuliah Subuh. Kebetulan materi pengajian Tarawih seputar
pilar-pilar penting dalam mendidik anak.
Karena banyaknya permintaan dari jama’ah, bahan materi tersebut
kami kumpulkan dalam bentuk makalah yang kami beri judul
“Jurus Jitu Mendidik Anak”. Tentu masih terlalu jauh dari
format sempurna, namun semoga yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi kita
semua.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak -yang
tidak bisa kami sebutkan satu persatu- yang turut andil dalam amal salih ini.
Tegur sapa para pembaca kami nantikan. Selamat menelaah!
JURUS PERTAMA: MENDIDIK ANAK PERLU ILMU
Ilmu merupakan kebutuhan primer setiap insan dalam setiap lini
kehidupannya, termasuk dalam mendidik anak. Bahkan kebutuhan dia terhadap ilmu
dalam mendidik anak, melebihi kebutuhannya terhadap ilmu dalam menjalankan
pekerjaannya.
Namun, realita berkata lain. Rupanya tidak sedikit di antara kita
mempersiapkan ilmu untuk kerja lebih banyak daripada ilmu untuk menjadi
orangtua. Padahal tugas kita menjadi orangtua dua puluh empat jam sehari
semalam, termasuk saat tidur, terjaga serta antara sadar dan tidak. Sementara
tugas kita dalam pekerjaan, hanya sebatas jam kerja.
Betapa banyak suami yang menyandang gelar bapak hanya karena
istrinya melahirkan. Sebagaimana banyak wanita disebut ibu semata-mata karena
dialah yang melahirkan. Bukan karena mereka menyiapkan diri menjadi orangtua.
Bukan pula karena mereka memiliki kepatutan sebagai orangtua.
Padahal, menjadi orangtua harus berbekal ilmu yang memadai.
Sekadar memberi mereka uang dan memasukkan di sekolah unggulan, tak cukup untuk
membuat anak kita menjadi manusia unggul. Sebab, sangat banyak hal yang tidak
bisa dibeli dengan uang.
Uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan
tidur yang lelap.
Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati
untuk tinggal di dalamnya.
Uang juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk
menghibur anak, tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka
terempas.
Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal mereka tinggal
di rumah-rumah yang kokoh bangunannya. Mereka mendapatkan apa saja dari
orangtuanya, kecuali perhatian, ketulusan dan kasih sayang!
Ilmu apa saja yang dibutuhkan?
Banyak jenis ilmu yang dibutuhkan orangtua dalam mendidik anaknya.
Mulai dari ilmu agama dengan berbagai varianya, hingga ilmu cara berkomunikasi
dengan anak.
Jenis ilmu agama pertama dan utama yang harus dipelajari orangtua
adalah akidah. Sehingga ia bisa menanamkan akidah yang lurus dan keimanan yang
kuat dalam jiwa anaknya. Nabi shallallahu’alaihiwasallam mencontohkan
bagaimana membangun pondasi tersebut dalam jiwa anak, dalam salah satu sabdanya
untuk Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,
“إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ
بِاللَّه”.
“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Dan jika engkau
meminta pertolongan, mintalah kepada Allah”. HR. Tirmidzi dan beliau berkomentar,
“Hasan sahih”.
Selanjutnya ilmu tentang cara ibadah, terutama shalat dan cara
bersuci. Demi merealisasikan wasiat Nabi shallallahu’alaihiwasallam
untuk para orangtua,
“مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ
سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْر”.
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berumur tujuh
tahun, dan pukullah jika enggan saat mereka berumur sepuluh tahun”. HR. Abu
Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albany.
Bagaimana mungkin orangtua akan memerintahkan shalat pada anaknya,
jikalau ia tidak mengerti tatacara shalat yang benar. Mampukah orang yang tidak
mempunyai sesuatu, untuk memberikan sesuatu kepada orang lain?
Berikutnya ilmu tentang akhlak, mulai adab terhadap orangtua,
tetangga, teman, tidak lupa adab keseharian si anak. Bagaimana cara makan,
minum, tidur, masuk rumah, kamar mandi, bertamu dan lain-lain.
Dalam hal ini Nabi shallallahu’alaihiwasallam
mempraktekkannya sendiri, antara lain ketika beliau bersabda menasehati seorang
anak kecil,
“يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ”.
“Nak, ucapkanlah bismillah (sebelum engkau makan) dan gunakanlah
tangan kananmu”. HR. Bukhari dan Muslim
dari Umar bin Abi Salamah.
Yang tidak kalah pentingnya adalah: ilmu seni berinteraksi dan
berkomunikasi dengan anak. Bagaimana kita menghadapi anak yang hiperaktif atau
sebaliknya pendiam. Bagaimana membangun rasa percaya diri dalam diri anak.
Bagaimana memotivasi mereka untuk gemar belajar. Bagaimana menumbuhkan bakat
yang ada dalam diri anak kita. Dan berbagai konsep-konsep dasar pendidikan anak
lainnya.
Ayo belajar!
Semoga pemaparan singkat di atas bisa menggambarkan pada kita
urgensi ilmu dalam mendidik anak. Sehingga diharapkan bisa mendorong kita untuk
terus mengembangkan diri, meningkatkan pengetahuan kita, menghadiri majlis
taklim, membaca buku-buku panduan pendidikan. Agar kita betul-betul menjadi
orangtua yang sebenarnya, bukan sekedar orang yang lebih tua dari anaknya!
JURUS KEDUA: MENDIDIK ANAK PERLU KESALIHAN ORANGTUA
Tentu Anda masih ingat kisah ‘petualangan’ Nabi Khidir dengan Nabi
Musa ‘alaihimassalam. Ya, di antara penggalan kisahnya adalah apa yang
Allah sebutkan dalam surat al-Kahfi. Manakala mereka berdua memasuki suatu
kampung dan penduduknya enggan untuk sekedar menjamu mereka berdua. Sebelum
meninggalkan kampung tersebut, mereka menemukan rumah yang hampir ambruk.
Dengan ringan tangan Nabi Khidir memperbaiki tembok rumah tersebut, tanpa
meminta upah dari penduduk kampung. Nabi Musa terheran-heran melihat tindakannya.
Nabi Khidir pun beralasan, bahwa rumah tersebut milik dua anak yatim dan di
bawahnya terpendam harta peninggalan orangtua mereka yang salih. Allah
berkehendak menjaga harta tersebut hingga kedua anak tersebut dewasa dan
mengambil manfaat dari harta itu.
Para ahli tafsir menyebutkan, bahwa di antara pelajaran yang bisa
dipetik dari kisah di atas adalah: Allah akan menjaga keturunan seseorang
manakala ia salih, walaupun ia telah meninggal dunia sekalipun.
Subhânallâh, begitulah dampak positif kesalihan orang tua! Sekalipun telah
meninggal dunia masih tetap dirasakan oleh keturunannya. Bagaimana halnya
ketika ia masih hidup?? Tentu lebih besar dan lebih besar lagi dampak positifnya.
Urgensi kesalihan orangtua dalam mendidik anak
Kita semua mempunyai keinginan dan cita-cita yang sama. Ingin agar
keturunan kita menjadi anak yang salih dan salihah. Namun, terkadang kita lupa
bahwa modal utama untuk mencapai cita-cita mulia tersebut ternyata adalah:
kesalihan dan ketakwaan kita selaku orangtua. Alangkah lucunya, manakala kita
berharap anak menjadi salih dan bertakwa, sedangkan kita sendiri berkubang
dalam maksiat dan dosa!
Kesalihan jiwa dan perilaku orangtua mempunyai andil yang sangat
besar dalam membentuk kesalihan anak. Sebab ketika si anak membuka matanya di
muka bumi ini, yang pertama kali ia lihat adalah ayah dan bundanya. Manakala ia
melihat orangtuanya berhias akhlak mulia serta tekun beribadah, niscaya itulah
yang akan terekam dengan kuat di benaknya. Dan insyaAllah itupun juga
yang akan ia praktekkan dalam kesehariannya. Pepatah mengatakan: “buah tidak
akan jatuh jauh dari pohonnya”. Betapa banyak ketakwaan pada diri anak
disebabkan ia mengikuti ketakwaan kedua orangtuanya atau salah seorang dari
mereka. Ingat karakter dasar manusia, terutama anak kecil, yang suka meniru!
Beberapa contoh aplikasi nyatanya
Manakala kita menginginkan anak kita rajin untuk mendirikan shalat
lima waktu, gamitlah tangannya dan berangkatlah ke masjid bersama. Bukan hanya
dengan berteriak memerintahkan anak pergi ke masjid, sedangkan Anda asyik
menonton televisi.
Jika Anda berharap anak rajin membaca al-Qur’an, ramaikanlah rumah
dengan lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an yang keluar dari lisan ayah, ibu
ataupun kaset dan radio. Jangan malah Anda menghabiskan hari-hari dengan
membaca koran, diiringi lantunan langgam gendingan atau suara biduanita
yang mendayu-dayu!
Kalau Anda menginginkan anak jujur dalam bertutur kata, hindarilah
berbohong sekecil apapun. Tanpa disadari, ternyata sebagai orang tua kita
sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada
saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut
atau mengajak jalan-jalan mengelilingi perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah
kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih
berbohong dengan mengatakan, “Bapak hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya.
Sebentaaar saja ya sayang…”. Tapi ternyata, kita malah pulang malam!
Dalam contoh di atas, sejatinya kita telah berbohong kepada anak,
dan itu akan ditiru olehnya.
Terus apa yang sebaiknya kita lakukan? Berkatalah dengan jujur
kepada anak. Ungkapkan dengan lembut dan penuh kasih serta pengertian, “Sayang,
bapak mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo bapak ke kebun
binatang, insyaAllah kamu bisa ikut”.
Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan
keadaan ini. Pastinya akan membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian
kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia belum
memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita
perlu bersabar dan melakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus.
Perlahan anak akan memahami mengapa orangtuanya selalu pergi di pagi hari dan
bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut.
Anda ingin anak jujur? Mulailah dari diri Anda sendiri!
Sebuah renungan penutup
Tidak ada salahnya kita putar ingatan kepada beberapa puluh tahun
ke belakang, saat sarana informasi dan telekomunikasi masih amat terbatas, lalu
kita bandingkan dengan zaman ini dan dampaknya yang luar biasa untuk para
orangtua dan anak.
Dulu, masih banyak ibu-ibu yang rajin mengajari anaknya mengaji,
namun sekarang mereka telah sibuk dengan acara televisi. Dahulu ibu-ibu dengan
sabar bercerita tentang kisah para nabi, para sahabat hingga teladan dari para
ulama, sekarang mereka lebih nyaman untuk menghabiskan waktu berfacebookan
dan akrab dengan artis di televisi. Dulu bapak-bapak mengajari anaknya sejak
dini tatacara wudhu, shalat dan ibadah primer lainnya, sekarang mereka sibuk
mengikuti berita transfer pemain bola!
Bagaimana kondisi anak-anak saat ini, dan apa yang akan terjadi di
negeri kita lima puluh tahun ke depan, jika kondisi kita terus seperti ini??
Jika kita tidak ingin menjumpai mimpi buruk kehancuran negeri ini,
persiapkan generasi muda sejak sekarang. Dan untuk merealisasikan itu, mulailah
dengan memperbaiki diri kita sendiri selaku orangtua! Sebab mendidik anak
memerlukan kesalihan orangtua.
Semoga Allah senantiasa meridhai setiap langkah baik kita, amien…
JURUS KETIGA: MENDIDIK ANAK PERLU KEIKHLASAN
Ikhlas merupakan ruh bagi setiap amalan. Amalan tanpa disuntik
keikhlasan bagaikan jasad yang tak bernyawa.
Termasuk jenis amalan yang harus dilandasi keikhlasan adalah
mendidik anak. Apa maksudnya?
Maksudnya adalah: Rawat dan didik anak dengan penuh ketulusan dan
niat ikhlas semata-mata mengharapkan keridhaan Allah ta’ala.
Canangkan niat semata-mata untuk Allah dalam seluruh aktivitas
edukatif, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan maupun hukuman.
Iringilah setiap kata yang kita ucapkan dengan keikhlasan..
Bahkan dalam setiap perbuatan yang kita lakukan untuk merawat
anak, entah itu bekerja membanting tulang guna mencari nafkah untuknya,
menyuapinya, memandikannya hingga mengganti popoknya, niatkanlah semata karena
mengharap ridha Allah.
Apa sih kekuatan keikhlasan?
Ikhlas memiliki dampak kekuatan yang begitu dahsyat. Di antaranya:
- Dengan ketulusan,
suatu aktivitas akan terasa ringan. Proses membuat dan mendidik anak, mulai dari mengandung,
melahirkan, menyusui, merawat, membimbing hingga mendidik, jelas
membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Puluhan tahun! Tentu di rentang
waktu yang cukup panjang tersebut, terkadang muncul dalam hati rasa jenuh
dan kesal karena ulah anak yang kerap menjengkelkan. Seringkali tubuh
terasa super capek karena banyaknya pekerjaan; cucian yang menumpuk,
berbagai sudut rumah yang sebentar-sebentar perlu dipel karena anak
ngompol di sana sini dan tidak ketinggalan mainan yang selalu berserakan
dan berantakan di mana-mana.Anda ingin seabreg pekerjaan itu terasa
ringan? Jalanilah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan! Sebab seberat
apapun pekerjaan, jika dilakukan dengan ikhlas insyaAllah akan
terasa ringan, bahkan menyenangkan. Sebaliknya, seringan apapun pekerjaan,
kalau dilakukan dengan keluh kesah pasti akan terasa seberat gunung dan
menyebalkan.
- Dengan keikhlasan,
ucapan kita akan berbobot. Sering kita mencermati dan merasakan bahwa di antara
kata-kata kita, ada yang sangat membekas di dada anak-anak yang masih
belia hingga mereka dewasa kelak. Sebaliknya, tak sedikit ucapan yang
bahkan kita teriakkan keras-keras di telinganya, ternyata berlalu begitu
saja bagai angin malam yang segera hilang kesejukannya begitu mentari pagi
bersinar.Apa yang membedakan? Salah satunya adalah kekuatan yang
menggerakkan kata-kata kita. Jika Engkau ucapkan kata-kata itu untuk
sekedar meluapkan amarah, maka anak-anak itu akan mendengarnya sesaat dan
sesudah itu hilang tanpa bekas. Namun jika Engkau ucapkan dengan sepenuh
hati sambil mengharapkan turunnya hidayah untuk anak-anak yang Engkau
lahirkan dengan susah payah itu, insya Allah akan menjadi perkataan
yang berbobot.Sebab bobot kata-kata kita kerap bersumber bukan dari
manisnya tutur kata, melainkan karena kuatnya penggerak dari dalam dada;
iman kita dan keikhlasan kita…
- Dengan keikhlasan
anak kita akan mudah diatur. Jangan pernah meremehkan perhatian dan pengamatan anak
kita. Anak yang masih putih dan bersih dari noda dosa akan begitu mudah
merasakan suasana hati kita.Dia bisa membedakan antara tatapan kasih
sayang dengan tatapan kemarahan, antara dekapan ketulusan dengan pelukan
kejengkelan, antara belaian cinta dengan cubitan kesal. Bahkan ia pun bisa
menangkap suasana hati orangtuanya, sedang tenang dan damaikah, atau
sedang gundah gulana?Manakala si anak merasakan ketulusan hati orangtuanya
dalam setiap yang dikerjakan, ia akan menerima arahan dan nasehat yang
disampaikan ayah dan bundanya, karena ia menangkap bahwa segala yang
disampaikan padanya adalah semata demi kebaikan dirinya.
- Dengan keikhlasan
kita akan memetik buah manis pahala. Keikhlasan bukan hanya memberikan dampak positif di dunia,
namun juga akan membuahkan pahala yang amat manis di alam sana. Yang itu
berujung kepada berkumpulnya orangtua dengan anak-anaknya di negeri
keabadian; surga Allah yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan.
وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ
ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
Artinya: “Orang-orang yang beriman, beserta
anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami akan pertemukan
mereka dengan anak cucu mereka”. QS. Ath-Thur: 21.
Dipertemukan di mana? Di surga Allah jalla wa ‘ala!
Mulailah dari sekarang!
Latih dan biasakan diri untuk ikhlas dari sekarang, sekecil apapun
perbuatan yang kita lakukan.
Kalau Engkau bangun di tengah malam untuk membuatkan susu buat
anakmu, aduklah ia dengan penuh keikhlasan sambil mengharap agar setiap tetes
yang masuk kerongkongannya akan menyuburkan setiap benih kebaikan dan
menyingkirkan setiap bisikan yang buruk.
Kalau Engkau menyuapkan makanan untuknya, suapkanlah dengan penuh
keikhlasan sembari memohon kepada Allah agar setiap makanan yang mengalirkan
darah di tubuh mereka akan mengokohkan tulang-tulang mereka, membentuk daging
mereka dan membangkitkan jiwa mereka sebagai penolong-penolong agama Allah.
Sehingga dengan itu, semoga setiap suapan yang masuk ke mulut
mereka akan membangkitkan semangat dan meninggikan martabat. Mereka akan
bersemangat untuk senantiasa menuntut ilmu, beribadah dengan tekun kepada Allah
dan meninggikan agama-Nya. Amîn yâ mujîbas sâ’ilîn…
JURUS KEEMPAT: MENDIDIK ANAK PERLU KESABARAN
Sabar merupakan salah satu syarat mutlak bagi mereka yang ingin
berhasil mengarungi kehidupan di dunia. Kehidupan yang tidak lepas dari susah
dan senang, sedih dan bahagia, musibah dan nikmat, menangis dan tertawa, sakit
dan sehat, lapar dan kenyang, rugi dan untung, miskin dan kaya, serta mati dan
hidup.
Di antara episode perjalanan hidup yang membutuhkan kesabaran
ekstra adalah masa-masa mendidik anak. Sebab rentang waktunya tidak sebentar
dan seringkali anak berperilaku yang tidak sesuai dengan harapan kita.
Contoh aplikasi kesabaran
- Sabar dalam
membiasakan perilaku baik terhadap anak. Anak bagaikan kertas yang masih putih, tergantung siapa
yang menggoreskan lukisan di atasnya. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
menggambarkan hal itu dalam sabdanya,
“مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى
الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه”
“Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah. Orang
tuanya lah yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi”. HR. Bukhari
dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Andaikan sejak kecil anak dibiasakan berperilaku
baik, mulai dari taat beribadah hingga adab mulia dalam keseharian, insyaAllah
hal itu akan sangat membekas dalam dirinya. Sebab mendidik di waktu kecil
bagaikan mengukir di atas batu.
Mengukir di atas batu membutuhkan kesabaran dan
keuletan, namun jika ukiran tersebut telah jadi niscaya ia akan awet dan tahan
lama.
- Sabar dalam
menghadapi pertanyaan anak. Menghadapi pertanyaan anak, apalagi yang baru saja mulai
tumbuh dan menginginkan untuk mengetahui segala sesuatu yang ia lihat,
memerlukan kesabaran yang tidak sedikit. Terkadang timbul rasa jengkel
dengan pertanyaan anak yang tidak ada habis-habisnya, hingga kerap kita
kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaannya.Sesungguhnya kesediaan
anak untuk bertanya kepada kita, ‘seburuk’ apa pun pertanyaan yang ia
lontarkan, merupakan pertanda bahwa mereka memberikan kepercayaannya
kepada kita untuk menjawab. Maka jalan terbaik adalah menghargai
kepercayaannya dengan tidak mematikan kesediaannya untuk bertanya, serta
memberikan jawaban yang mengena dan menghidupkan jiwa.Jika kita
ogah-ogahan untuk menjawab pertanyaan anak atau menjawab sekenanya atau
bahkan justru menghardiknya, hal itu bisa berakibat fatal. Anak tidak lagi
percaya dengan kita, sehingga ia akan mencari orang di luar rumah yang
dianggapnya bisa memuaskan pertanyaan-pertanyaan dia. Dan tidak ada yang
bisa menjamin bahwa orang yang ditemuinya di luar adalah orang baik-baik!
Ingat betapa rusaknya pergaulan di luar saat ini!
- Sabar menjadi
pendengar yang baik. Banyak orang tua adalah pendengar yang buruk bagi
anak-anaknya. Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orangtua
lebih suka menyela, langsung menasihati tanpa mau bertanya permasalahannya
serta asal-usul kejadiannya.Salah satu contoh, anak kita baru saja pulang
sekolah yang mestinya siang ternyata baru pulang sore hari. Kita tidak
mendapat pemberitahuan apa pun darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu
saja kita merasa kesal menunggu, sekaligus juga khawatir. Lalu pada saat
anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan
serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak berbicara,
kita selalu memotongnya, dengan ungkapan, “Sudah-sudah tidak perlu banyak
alasan”, atau “Ah, papa/mama tahu kamu pasti main ke tempat itu lagi
kan?!”. Akibatnya, ia malah tidak mau bicara dan marah pada kita.Pada saat
seperti itu, yang sangat dibutuhkan oleh seorang anak adalah ingin
didengarkan terlebih dahulu dan ingin diperhatikan. Mungkin
keterlambatannya ternyata disebabkan adanya tugas mendadak dari sekolah.
Ketika anak tidak diberi kesempatan untuk berbicara, ia merasa tidak
dihargai dan akhirnya dia juga berbalik untuk tidak mau mendengarkan
kata-kata kita.Yang sebaiknya dilakukan adalah, kita memulai untuk menjadi
pendengar yang baik. Berikan kepada anak waktu yang seluas-luasnya
untuk mengungkapkan segalanya. Bersabarlah untuk tidak berkomentar sampai
saatnya tiba. Ketika anak sudah selesai menjelaskan duduk permasalahan,
barulah Anda berbicara dan menyampaikan apa yang ingin Anda sampaikan.
- Sabar manakala
emosi memuncak. Hendaknya kita
tidak memberikan sanksi atau hukuman pada anak ketika emosi kita sedang
memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari
mulut kita, cenderung untuk menyakiti dan menghakimi, tidak untuk
menjadikan anak lebih baik.Yang seyogyanya dilakukan adalah: bila kita
dalam keadaan sangat marah, segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara
yang tepat untuk menurunkan amarah kita dengan segera. Bisa dengan
mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu’alaihiwasallam; yakni
berwudhu.Jika kita bertekad untuk tetap memberikan sanksi, tundalah sampai
emosi kita mereda. Setelah itu pilih dan susunlah bentuk hukuman yang
mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuatnya. Ingat,
prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan untuk menyakiti.Berakit-rakit
ke huluPepatah Arab mengatakan, “Sabar bagaikan buah brotowali, pahit
rasanya, namun kesudahannya lebih manis daripada madu”.Sabar dalam
mendidik anak memang terasa berat, namun tunggulah buah manisnya kelak di
dunia maupun akhirat. Di dunia mereka akan menjadi anak-anak yang menurut
kepada orangtuanya insyaAllah. Dan manakala kita telah masuk di
alam akhirat mereka akan terus mendoakan kita, sehingga curahan pahala
terus mengalir deras. Semoga…
JURUS KELIMA: MENDIDIK ANAK PERLU IRINGAN DOA
Beberapa saat lalu saya mampir shalat Jum’at di masjid salah satu
perumahan di bilangan Sokaraja Banyumas. Di sela-sela khutbahnya, khatib
bercerita tentang kejadian yang menimpa sepasang suami istri. Keduanya terkena
stroke, namun sudah sekian bulan tidak ada satupun di antara anaknya yang
datang menjenguk. Manakala dibesuk oleh si khatib, sang bapak bercerita sambil
menangis terisak, “Mungkin Allah telah mengabulkan doa saya. Sekarang inilah
saya merasakan akibat dari doa saya! Dahulu saya selalu berdoa agar anak-anak
saya jadi ‘orang’. Berhasil, kaya, sukses dst. Benar, ternyata Allah
mengabulkan seluruh permintaan saya. Semua anak saya sekarang menjadi orang
kaya dan berhasil. Mereka tinggal di berbagai pulau di tanah air, jauh dari
saya. Memang mereka semua mengirimkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan
semua menelpon saya untuk segera berobat. Namun bukan itu yang saya butuhkan
saat ini. Saya ingin belaian kasih sayang tangan mereka. Saya ingin dirawat dan
ditunggu mereka, sebagaimana dulu saya merawat mereka”.
Ya, berhati-hatilah Anda dalam memilih redaksi doa, apalagi jika
itu ditujukan untuk anak Anda. Tidak ada redaksi yang lebih baik dibandingkan
redaksi doa yang diajarkan dalam al-Qur’an dan Hadits. “Robbanâ hablanâ min
azwâjinâ wa dzurriyyâtinâ qurrota a’yun, waj’alnâ lil muttaqîna imâmâ” (Wahai
Rabb kami, karuniakanlah pada kami pasangan dan keturunan yang menyejukkan
pandangan mata. Serta jadikanlah kami imam bagi kaum muttaqin). QS. Al-Furqan:
74.
Seberapa besar sih kekuatan doa?
Sebesar apapun usaha orangtua dalam merawat, mendidik,
menyekolahkan dan mengarahkan anaknya, andaikan Allah ta’ala tidak
berkenan untuk menjadikannya anak salih, niscaya ia tidak akan pernah menjadi
anak salih. Hal ini menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah dan betapa
kecilnya kekuatan kita. Ini jelas memotivasi kita untuk lebih membangun
ketergantungan dan rasa tawakkal kita kepada Allah jalla wa ‘ala. Dengan
cara, antara lain, memperbanyak menghiba, merintih, memohon bantuan dan
pertolongan dari Allah dalam segala sesuatu, terutama dalam hal mendidik anak.
Secara khusus, doa orangtua untuk anaknya begitu spesial.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan hal itu dalam
sabdanya,
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ
الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga doa yang akan dikabulkan tanpa ada keraguan sedikitpun. Doa
orangtua, doa musafir dan doa orang yang dizalimi”. HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu
dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany.
Sejak kapan kita mendoakan anak kita?
Sejak Anda melakukan proses hubungan suami istri telah
disyariatkan untuk berdoa demi kesalihan anak Anda. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
mengingatkan,
“إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ وَقَالَ: “بِسْمِ اللَّهِ
اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا”
فَرُزِقَا وَلَدًا لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ”
“Jika salah seorang dari kalian sebelum bersetubuh dengan istrinya
ia membaca “Bismillah, allôhumma jannibnasy syaithôn wa jannibisy syaithôna mâ
rozaqtanâ” (Dengan nama Allah. Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan
jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan pada kami), lalu mereka berdua
dikaruniai anak; niscaya setan tidak akan bisa mencelakakannya”. HR. Bukhari
(hal. 668 no. 3271) dan Muslim (X/246 no. 3519) dari Ibnu Abbas.
Ketika anak telah berada di kandungan pun jangan pernah lekang
untuk menengadahkan tangan dan menghadapkan diri kepada Allah, memohon agar
kelak keturunan yang lahir ini menjadi generasi yang baik. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam
mencontohkan,
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Wahai Rabbi, anugerahkanlah kepadaku (anak) yang termasuk
orang-orang salih”. QS. Ash-Shâffât: 100.
Nabi Zakariya ‘alaihissalam juga demikian,
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ
الدُّعَاءِ
“Ya Rabbi, berilah aku dari sisiMu keturunan yang baik.
Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. QS. Ali Imran: 38.
Setelah lahir hingga anak dewasa sekalipun, kawal dan iringilah
terus dengan doa. Pilihlah waktu-waktu yang mustajab. Antara adzan dengan iqamah,
dalam sujud dan di sepertiga malam terakhir misalnya.Bahkan tidak ada salahnya
ketika berdoa, Anda perdengarkan doa tersebut di hadapan anak Anda. Selain
untuk mengajarkan doa-doa nabawi tersebut, juga agar dia melihat dan memahami
betapa besar harapan Anda agar dia menjadi anak salih.
Awas, hati-hati!
Doa orangtua itu mustajab, baik doa tersebut bermuatan baik maupun
buruk. Maka berhati-hatilah wahai para orangtua. Terkadang ketika Anda marah,
tanpa terasa terlepas kata-kata yang kurang baik terhadap anak Anda, lalu Allah
mengabulkan ucapan tersebut, akibatnya Anda menyesal seumur hidup.
Dikisahkan ada seorang yang mengadu kepada Imam Ibn al-Mubarak
mengeluhkan tentang anaknya yang durhaka. Beliau bertanya, “Apakah engkau
pernah mendoakan tidak baik untuknya?”. “Ya” sahutnya. “Engkau sendiri yang
merusak anakmu” pungkas sang Imam.
Ditulis di Pesantren Tunas Ilmu, Kedungwuluh Purbalingga, 9
Ramadhan 1432 / 9 Agustus 2011
Penulis Abdullah Zaen, Lc,. MA