Kamis, 31 Mei 2012

Doa Sebelum Makan dan Minum



بِسْمِ اللَّهِ
Bismillaah
"Dengan menyebut nama Allah"
Doa di atas didasarkan pada hadits Umar bin Abi Salamah yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda kepadanya:
يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
"Wahai anakku, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang berada di dekatmu." (HR Bukhari no. 4957 dan Muslim no. 3767 dari Maktabah Syamilah)
Dan juga hadits Aisyah radliyallah 'anha, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنْ نَسِيَ فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ
"Apabila seorang kalian ingin makan, hendaknya dia membaca "bismillah". Dan jika ia lupa membaca di awalnya, hendaknya ia membaca "bismillah fii awwalihi wa aakhirihi." (HR. al Tirmidzi dan Ahmad. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1513)
Dalam hadits yang lain dari seorang sahabat yang telah membantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam selama 8 tahun  bercerita bahwa dia selalu mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam apabila mendekati makanan membaca ‘bismillah.’” (HR. Muslim dan Ahmad. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah, 1/111)

Cukup Bismillaah atau Bismillaahirrahmanirrahim?
Berdasarkan riwayat-riwayat yang ada, bacaan sebelum makan yang sesuai dengan sunnah adalah cukup dengan "bismillaah", tanpa tambahan ar-Rahmaan dan ar-Rahiim. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikh al Albani berdasarkan hadits Umar bin Abi Salamah dan hadits 'Aisyah. Beliau mengatakan, "dan di dalam hadits terdapat dalil bahwa bacaan ketika akan makan hanya bismillaah saja."
Beliau juga menyatakan dalam Silsilah Shahihah (1/152) “Membaca sebelum makan adalah ‘Bismillaah’ dan tidak ada tambahan padanya. Dan semua hadits-hadits yang shahih dalam masalah ini tidak ada tambahan sedikitpun. Dan saya tidak mengetahui satu haditspun yang di dalamnya ada tambahan (bismillaahirrahmaanirrahiim, pent).”
Ibnu Hajar menguatkan pendapat di atas dengan bersandar kepada hadits Aisyah, "Dia (bismillaah,- pent) adalah lafadz paling jelas tentang bentuk bacaan (sebelum makan)." (Fathul Baari: 9/455)
Beliau rahimahullah juga menyatakan bahwa beliau tidak mengetahui satu dalil khusus yang mendukung klaim Imam Nawawi bahwa ucapan bismillaahirramaanirrahiim ketika hendak makan itu lebih afdhal. Padahal, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Albani, "tidak ada yang lebih afdhal daripada sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam."
Jika tidak ada keterangan  tentang bacaan sebelum makan kecuali hanya bismillaah, maka tidak boleh menambah, terlebih lagi menyatakan bahwa menambahnya lebih utama. Sebabnya, karena bertentangan dengan hadits, "sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam)." (Dikutip dari Silsilah Shahihah: 1/611)
Jika tidak ada keterangan  tentang bacaan sebelum makan kecuali hanya bismillaah, maka tidak boleh menambah, terlebih lagi menyatakan bahwa menambahnya lebih utama.
Hukum membaca "Bismillaah"
Berdasarkan hadits-hadits di atas, menunjukkan bahwa membaca "bismillaah" ketika makan dan minum adalah wajib dan berdosa bila meninggalkannya.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Yang benar adalah wajib membaca "bismillaah" ketika makan. Dan hadits-hadits yang memerintahkan demikian adalah shahih dan sharih. Dan tidak ada yang menyelisihinya serta tidak ada satupun ijma’ yang membolehkan untuk menyelisihinya dan mengeluarkan dari makna lahirnya. Orang yang meninggalkannya akan ditemani syetan dalam makan dan minumnya.”

Manfaat membaca "Bismilah" sebelum makan
Memulai makan dan minum dengan membaca "bismillaah" adalah sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan dalam sunnah terdapat banyak kebaikan dan keberkahan. Imam Ahmad mengatakan, “Jika dalam satu makanan terkumpul 4 (empat) hal, maka makanan tersebut adalah makanan yang sempurna. Empat hal tersebut adalah menyebut nama Allah saat mulai makan, memuji Allah di akhir makan, banyaknya orang yang turut makan dan berasal dari sumber yang halal."
Manfaat lainnya, akan berfungsi mencegah syetan dari ikut serta menikmati makanan tersebut. Diriwayatkan dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Apabila kami makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kami tidak memulainya sehingga beliau memulai makan. Suatu hari kami makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba datanglah seorang gadis kecil seakan-akan anak tersebut terdorong untuk meletakkan tangannya dalam makanan yang sudah disediakan. Dengan segera Nabi memegang tangan anak tersebut. Tidak lama sesudah itu datanglah seorang Arab Badui. Dia datang seakan-akan didorong oleh sesuatu. Nabi lantas memegang tangannya. Sesudah itu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya syetan turut menikmati makanan yang tidak disebut nama Allah padanya. Syaitan datang bersama anak gadis tersebut dengan maksud supaya bisa turut menikmati makanan yang ada karena gadis tersebut belum menyebut nama Allah sebelum makan. Oleh karena itu aku memegang tangan anak tersebut. Syetan pun lantas datang bersama anak Badui tersebut supaya bisa turut menikmati makanan. Oleh karena itu, aku pegang tangan Arab Badui itu. Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya tangan syetan itu berada di tanganku bersama tangan anak gadis tersebut.” (HR. Muslim no. 2017)

Apabila lupa membaca "Bismillah"
Apabila sudah memulai makan atau minum, lalu teringat belum membaca basmalah, maka hendaknya membaca:
بِسْمِ اللَّهِ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ
Bismillaahi fii Awwalihii wa Aakhirihi
"Dengan menyebut nama Allah di awal dan akhirnya."
Dari Aisyah radliyallah 'anha, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
فَإِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ
"Apabila seorang kalian ingin makan, hendaknya dia membaca 'bismillah'. Dan jika ia lupa membaca di awalnya, hendaknya ia membaca 'bismillaahi fii awwalihi wa aakhirihi'." (HR. Ahmad, al Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3264,  Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1513, al Irwa' no 1965)
Atau membaca:
بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ
Bismillaahi Awwalahu wa Aakhirahu
"Dengan menyebut nama Allah, awal dan akhirnya."
Berdasarkan hadits Aisyah radliyallah 'anha, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ
"Apabila seorang kalian ingin makan, hendaknya dia membaca 'bismillaah'. Dan jika ia lupa membaca di awalnya, hendaknya ia membaca 'bismillaahi awwalahu wa aakhirahu'." (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah: 3264 dan Shahih al–Targhib wa al-Tarhib, no. 2107)
Disebutkan dalam Riyadhus Shalihin, "Pernah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam duduk dan ada seorang laki-laki yang sedang makan tapi belum membaca "bismillah" sehingga makanannya tinggal satu suap. Ketika ingin memasukkannya ke mulutnya, dia membaca, "Bismillaahi Awwalahu wa Aakhiaihu", maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tertawa, lalu bersabda, "Syetan ikut serta makan bersamanya, dan ketika dia menyebut nama Allah, dia memuntahkan apa yang ada di perutnya." (HR. Abu Dawud dan al-Nasai. Didhaifkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Dawud no. 3768)
Oleh: Badrul Tamam
(PurWD/voa-islam.com)

Hadits Lemah & Palsu yang Populer di Indonesia

Penulis : Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf,
 Pustaka al Furqon
Harga : Rp  44,000
Harga Disc  Rp 35,000
Hadist yang populer bukan jaminan pasti shahih. Berapa banyak yang mengklaim ucapannya sebagai hadist Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun klaimnya hanyalah dusta belaka. Ambil contoh Doa sebelum makan dengan Lafadz :
الَّلهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Inilah Hadist yang lemah sebagaimana akan datang keterangannya dalam kitab ini Insya Allah, maka sangat mungkin orang berpikir, bagaimana dikatakan lemah, padahal doa itu sudah diajarkan sejak dahulu kala, di semua jenjang pendidikan mulai dari TK, TPA, MI, SD dan lainnya tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya.

 Rasulullah Shalallahu ‘alaihi was salam bersabda :
“Barang siapa yang menyampaikan dariku sebuah hadits yang dia sangka bahwa itu dusta, maka dia termasuk salah satu dari pendusta.” (HR. Muslim)
Imam Abdulloh bin al-Mubarok Radhi allahu ‘anhu berkata :
“Sanad itu bagian dari agama. Seandainya tidak ada sanad, niscaya siapa pun akan berbicara semaunya.” (Muqoddimah Shohih Muslim)
Ketika disebut beberapa hadits sangat mahsyur ternyata lemah, maka sebagian saudara kita sesama muslim kaget & tercengang. “Bagaimana mungkin hadits itu lemah? Padahal begitu mahsyur & sudah diajarkan turun-temurun dari generasi ke generasi”.
Pikiran semacam itu wajar-wajar saja, karena kemahsyuran hadits tsb menjadikan orang menerima tanpa memeriksa terlebih dahulu perkataan ulama ahli hadits tentang keshohihan atau kelemahan hadits tsb. – Abu Yusuf -

Hidayah Lambat Karena Adat

Hidayah Lambat Karena Adat
Allah tidak pernah terlambat memberikan hidayah. Allah Mahatahu, kapan waktu yang paling tepat untuk menurunkannya. Sebagaimana Allah juga Mahatahu, siapa yang layak didahulukan atau diakhirkan hidayahnya, atau bahkan yang tidak layak memperolah secercahpun hidayah dari-Nya.
Jikalau ada yang diperlambat datangnya hidayah, bukan karena Dia kikir atau pelit, sungguh Dia Maha Penyayang lagi Maha Pemurah. Keterlambatan, atau bahkan terhalangya seseorang dari hidayah itu disebabkan oleh ulah dan sikap manusia dalam menerima dan menyambutnya. Atau dominasi hawa nafsu yang menguasai diri, sehingga menampik datangnya hidayah. Baik hidayah Islam secara global, ataupun hidayah tafshil (yang rinci), berupa menjalankan berbagai perintah, dan menjauhi segala hal yang dilarang oleh Allah.

Adat, Hambatan Paling Berat
Saat cahaya Islam pertama kali menyapa kaum Arab Quraisy, tak serta merta disambut dengan gegap gempita. Bahkan lebih banyak penentang katimbang pendukungnya. Alasan paling populer dari para penentang adalah, karena Islam tak sejalan dengan adat dan agama nenek moyang mereka.
Taklid kepada leluhur lebih mereka utamakan dari ajakan Allah dan Rasul-Nya, meskipun hati kecil mereka meyakininya. Tak ada penghalang yang lebih berat bagi Abu Abu Thalib, paman Nabi SAW, selain beban untuk berpegang kepada agama leluhurnya. Adalah Abu Jahal yang memprovokasi Abu Thalib di ujung hayatnya. Dia membujuk, “Apakah engkau hendak meninggalkan agama Abdul Muthallib?” Hingga akhirnya Abu Thalib mati dalam keadaan musyrik. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, sebelum meninggal, dia mengulang-ulang sya’irnya,
Aku tahu bahwa agama Muhammad terbaik bagi manusia
Kalau saja bukan karena agama nenak moyang yang dicela
Niscaya engkau dapatkan aku menerima dengan sukarela
Sikap ini mewakili sekian banyak orang yang menampik hidayah, juga enggan untuk tunduk terhadap titah Allah dan Rasul-Nya. Karakter para penentang ini dikisahkan dalam firman-Nya,
“Apabila dikatakan kepada mereka:”Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab:”Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. (QS. Al Maidah:104)
Ketika mereka diajak menjalankan agama Allah dan syariatnya, menjalankan kewajiban dan apa yang diharamkannya, mereka menjawab, ”cukup bagi kami mengikuti cara dan jalan yang telah ditempuh oleh bapak dan kakek kami.” Demikian dijelaskan tafsirnya oleh Ibnu Katsier rahimahullah.
Seakan al-Qur’an masih hangat turun ke bumi. Betapa alasan ini sangat populer kita dapati. Tatkala didatangkan dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, baik tentang larangan yang tak boleh dijamah, atau perintah yang mesti dilakukan, seringkali kandas ketika dalil itu tak sejalan dengan kebiasaan yang telah berjalan. ”Jangan merubah adat…!  Ini sudah tradisi para leluhur…! Biasanya memang begini…!” dan ungkapan lain yang mengindikasikan ketidakrelaan mereka jika adat diganti dengan syariat. Ungkapan seperti ini tak jarang muncul dari lisan orang yang telah menyatakan dirinya Islam, yang telah mengikrarkan bahwa ia rela Allah sebagai Rabbnya, Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, dan Islam sebagai agamanya. Tapi begitu syariat tidak sejalan dengan adat, adat lebih mereka utamakan.
Sejenak kita akan tahu bahwa, masih banyak warisan adat leluhur yang ternyata bertentangan dengan syariat, bahkan jika dirunut, tak hanya warisan nenek moyang masyarakat Indonesia, tapi warisan penyembah berhala di era jahiliyah Arab.

Kesesatan yang Dilestarikan
Atas nama melanggengkan nilai-nilai luhur tradisi nenek moyang, budaya sesaji masih tetap lestari. Dari yang hanya sekedar mempersembahkan menu ’wajib’ berupa hewan sembelihan, maupun yang berupai kemenyan, buah-buahan dan ’tetek bengek’ lain sebagai menu tambahan. Semua itu ditujukan kepada sesuatu yang diagungkan, apakah jin penunggu, arwah leluhur atau dewa yang diyakini keberadaannya.
Tradisi ini mengiringi momen-momen penting dalam kehidupan manusia, seperti peringatan kelahiran, kematian, upacara pernikahan, peresmian gedung atau jembatan, peringatan hari besar, juga untuk tujuan insidental seperti mencegah terjadinya marabahaya. Tak ketinggalan pula masyarakat kita yang mengaku dirinya muslim. Mereka turut membudayakannya dengan sedikit modivikasi dan dikemas dengan simbol-simbol Islam.
Sulit untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan, sejak kapan tradisi sesaji bermula di negeri ini. Paling-paling kita harus puas dengan jawaban, ”itu sudah menjadi adat nenek moyang sejak dahulu.”
Jika ditelisik, sesaji tak hanya menjadi tradisi Hindu atau penganut animisme maupun dinamisme di Indonesia saja. Tapi juga merupakan adat jahiliyah Arab, yang kemudian disapu bersih dengan hadirnya Islam. Ini terlihat dari banyaknya ayat dan hadits yang melarang sembelihan untuk selain Allah, juga ancaman bagi yang melakukannya.
Dahulu, orang biasa Arab biasa menyembelih hewan di sisi kuburan, lalu Islam melarangnya. Sebagaimana hadits Nabi SAW,
لاَ عَقْرَ فِي الإِسْلاَمِ قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: كَانُوا يَعْقِرُونَ عِنْدَ الْقَبْرِ بَقَرَةً أَوْ شَاةً
“Tidak boleh ada ‘aqr (menyembelih di kuburan) dalam Islam.” (HR. Abu Dawud)
Abdurrazzaq yang meriwayatkan hadits tersebut berkata; dahulu mereka menyembelih sapi atau kambing di kuburan.
Dengan alasan mengikuti adat, tradisi itupun masih dilestarikan dengan istilah bedah bumi (‘meminta ijin’ untuk menggali liang kuburan), atau sebagai penghormatan kepada orang yang telah mati.
Padahal secara tegas Nabi SAW bersabda,
وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّه
“Dan Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.” (HR. Muslim)
Jimat untuk kesaktian dan penangkal bahaya, juga menjadi warisan orang musyrik terdahulu. Suatu kali, sahabat Hudzaifah bin Yaman menengok orang sakit. Beliau melihat di lengan si sakit ada gelang (untuk jimat). Maka beliau langsung melepasnya sembari membaca firman Allah,
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah ( dengan sembahan-sembahan lain ).”(QS. Yusuf:106)
Bukankah praktik ini sering kita jumpai dalam bentuk rajah di pintu rumah, di warung, kendaraan, atau jimat lain berupa gelang, kalung atau cincin yang dianggap memiliki khasiat bisa mendatangkan manfaat dan mencegah madharat. Inilah keyakinan syirik warisan jahiliyah, di mana Islam datang untuk membersihkan dan menghilangkannya.
Belum lagi berbagai keyakinan khurafat yang masih subur dan diwariskan turun temurun.
Meninggalkan Adat Demi Syariat
Ajaran tauhid mengharuskan penganutnya bersih dari syirik, meski itu berupa adat yang mendarah daging dan mengakar kuat. Wajar, jika dakwah Nabi SAW oleh orang Arab diidentikkan dengan dakwah untuk meninggalkan adat nenek moyang.
Heraklius, Kaisar Romawi yang beragama Nasrani pernah bertanya kepada Abu Sufyan saat masih musyrik, ”Apa yang Muhammad (SAW) serukan atas kalian?” Abu Sufyan menjawab,
يَقُولُ اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ ، وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَة
“Dia (Muhammad SAW) mengatakan, “Hendaklah kalian hanya beribadah kepada Allah saja, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan hendaknya kalian meninggalkan pendapat nenek moyang kalian, dia juga menyuruh kami shalat, berlaku jujur, menjaga kehormatan dan menjalin persaudaraan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menyelisihi kebiasaann nenek moyang bukanlah cela. Melanggar adat tak juga membuat kita kualat. Bahkan orang yang kualat dan mendapat ganjaran berupa siksa yang berat adalah mereka yang mempelopori adat yang sesat, juga para pengikutnya di dunia.
Di dalam hadits Bukhari, Nabi juga bersabda, ”Aku mengetahui, siapakah orang pertama yang merubah ajaran (tauhid) Ibrahim alaihis salam.” Para sahabat bertanya, ”Siapakah dia wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, ”Dia adalah Amru bin Luhay, saudara Bani Ka’ab. Aku melihatnya dia menyeret usus-ususnya di neraka, hingga penduduk neraka yang lain terganggu oleh bau busuknya.” (HR. Bukhari)
Begitulah ganjaran bagi orang yang membawa berhala ke negeri Arab, yang tadinya telah dibersihkan oleh kapak dan dakwah tauhid Ibrahim alaihis salam. Apakah kita tetap akan membanggakan para leluhur meski memiliki kemiripan dengan Amru bin Luhay?
Teladanilah sikap yang diambil oleh seorang tabi’in, Syuraih al-Qadhi ketika beliau ditanya, ”Dari kaum manakah Anda?” Beliau menjawab, ”Dari kaum yang Allah telah karuniakan Islam atasnya. Sedangkan orangtuaku dari Kindah.” Beliau lebih suka menisbahkan dirinya kepada Islam, katimbang membanggakan sukunya.
Karena beliau tahu, suku atau keturunan siapa tak akan membuatnya mulia atau hina, tidak pula menolongnya kelak di akhirat. Nenek moyang tak mampu menyediakan surga baginya, bahkan, jika mereka sesat, mereka sendiri dalam keadaan hina. Simaklah kabar Nabi SAW tentang mereka,
لَيَدَعَنَّ رِجَالٌ فَخْرَهُمْ بِأَقْوَامٍ إِنَّمَا هُمْ فَحْمٌ مِنْ فَحْمِ جَهَنَّمَ أَوْ لَيَكُونُنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّهِ مِنْ الْجِعْلاَنِ الَّتِي تَدْفَعُ بِأَنْفِهَا النَّتِنَ
Maka, hendaklah orang-orang meninggalkan kebanggaan mereka terhadap kaumnya; sebab mereka hanya (akan) menjadi arang jahannam, atau di sisi Allah mereka akan menjadi lebih hina dari ji’lan (kumbang kotoran) yang mendorong kotoran dengan hidungnya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Memang, tak semua adat itu sesat, sehingga wajib kita mengukurnya dengan barometer syariat. Jika memang bertentangan, jangan ragu meningalkannya, demi merealisasikan ajaran Islam yang hanif. (Abu Umar Abdillah)

Panduan Keluarga Sakinah

Penulis : Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Harga : Rp  40,000
Harga Disc  Rp 32,000
Mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah (keluarga yang dipenuhi ketenangan, rasa cinta, dan kasih sayang) merupakan dambaan setiap Muslim dan Muslimah yang akan menghadapi mahligai rumah tangga. Keluarga yang sakinah adalah keluarga yang di dalamnya ditegakkan syari’at Allah Ta’ala, keluarga yang di dalamnya terdapat sikap saling memahami, dan keluarga yang di dalamnya terdapat rasa cinta dan pergaulan yang baik.

Namun, mencapai keluarga yang sakinah bukanlah suatu hal yang mudah, tetapi bukan pula suatu hal yang mustahil. Oleh karena itu, setiap Muslim dan Muslimah yang hendak berumah tangga berkewajiban untuk mempelajari dan memahami konsep dan tujuan pernikahan dalam Islam sebagai bekal utama sebelum melangkah ke jenjang pernikahan dan akhirnya meraih keluarga yang sakinah dengan izin Allah Ta’ala.

Buku ini membahas tentang berbagai aspek dalam pernikahan yang perlu diketahui, meliputi: tujuan pernikahan dalam Islam, manfaat pernikahan, tata cara pernikahan dalam Islam, beberapa pernikahan yang dilarang syari’at Islam, pelanggaran-pelanggaran yang sering terjadi dalam pernikahan, kiat-kiat membina rumah tangga yang ideal, hak dan kewajiban suami-istri, nasihat untuk suami-istri, hal-hal yang harus dilakukan ketika si buah hati lahir, kewajiban mendidik anak, menggapai ridha Allah Ta’ala dengan berbakti kepada kedua orang tua, dan lainnya.

Dengan mengetahui semua aspek dalam pernikahan ini, mudah-mudahan bagi mereka yang hendak menikah, mereka yang baru memasuki jenjang rumah tangga, maupun mereka yang telah lama berumah tangga mampu mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.

Inilah Faktanya

Penulis : Dr. 'Utsman bin Muhammad al-Khamis
Harga : Rp 50,000
Harga Disc 40,000
Sejarah Islam tidak bisa lepas dari sejarah para Sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Salah dalam memahami peristiwa sejarah pada masa mereka tentu akan menyebabkan kekeliruan dalam menafsirkan peristiwa sejarah pada masa-masa berikutnya.
Buku ini menghadirkan pembahasan sejarah pada masa tujuh khalifah setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam . Diungkap dengan gaya berbeda, buku ini mencoba meluruskan pemahaman
kita selama ini terkait sejarah Islam khususnya pada era Sahabat, termasuk cara yang ideal dalam membaca sejarah Islam.
Peristiwa-peristiwa penting yang jarang diungkap mulai era kekhilafahan Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, al-Hasan, Mu’awiyah, hingga Yazid dipaparkan secara gamblang di dalamnya. Keberhasilan mereka dalam memimpin umat Islam saat itu dijelaskan dengan lugas. Konflik-konflik yang selama ini diisukan terjadi di antara mereka juga dibahas beserta bantahan-bantahannya. Paradigma keshalihan para Sahabat diterangkan secara jelas di dalam buku ini.
Tidak kalah pentingnya, buku ini juga meluruskan kesimpangsiuran masalah suksesi kepemimpinan sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Termasuk konspirasi Yahudi dalam pembunuhan ‘Utsman yang menjadi cikal bakal pemberontakan pada masa-masa berikutnya.
Dengan membaca buku ini, kita akan sadar betapa kita perlu bersikap kritis dalam membaca peristiwa-peristiwa sejarah, terutama yang bertendensi negatif terkait kehidupan para Sahabat yang telah mendampingi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam mendakwahkan agama ini.

 http://hasanahmuslim.com


Rabu, 30 Mei 2012

Selasa, 29 Mei 2012

Ketika para budak nafsu mempersilakan kemunkaran

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ   [الجاثية/23]
23. Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[1384] dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS Al-Jatsiyah/ 45: 23)
[1384] Maksudnya Tuhan membiarkan orang itu sesat, karena Allah telah mengetahui bahwa dia tidak menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya.
  • Bangsa dan umat ini tenggelam dalam kemunkaran, dan dosa-dosa besar, yang tak terhitung lagi. Tidak berani menolak terhadap dosa-dosa besar. Tidak berani melarang, meninggalkan, dan memusuhi kemunkaran. Tetapi, bersatu dengan kemunkaran, dan hidup dengan kemunkaran. Menjalin dan bersekutu dengan kemunkaran. Semuanya dianggap sebagai jalan hidup.
  • Semua ulama secara ijma’ sepakat menolak kemunkaran hukumnya wajib. Tidak ada selisih diantara para ulama dan  fuqaha. Maka, setiap Muslim dan Mukmin wajib memberantas kemunkaran yang ada. Baginda Rasulullah Shallahu Alaihi Wasallam memerintahkan dengan tangan (kekuatan), kalau tidak mampu dengan lisan, dan kalau tidak mampu dengan hati. Artinya, hatinya harus menolak terhadap kemunkaran, dan membencinya.
  • Bagaimana kalau ada ulama yang terang-terangan mengatakan, bahwa sejuta setan Lady GaGa, tidak akan mempengaruhi umatnya dan pengikutnya? Di mana kewajiban menegakkan amar ma’ruf nahi munkar?
  • Padahal penyanyi yang berasal dari Amerika Serikat itu, pasti akan mengajak kepada kemunkaran.
Berikut ini sorotannya.
***
Masihkah Tersisa Iman di Hati Muslim dan Mukmin Indonesia?
Ilustrasi: m.dakwatuna.com
Masihkah ingat Sabda Rasulullah Shallahu Alaihi Wasallam, di mana beliau menyampaikan sabdanya,
« مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ ».
“Barangsiapa melihat kemunkaran, hendaklah merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang  demikian itu tingkatan iman yang paling lemah”. (Hadist Riwayat Muslim).
Masihkah hati, mata, dan telinga,  tidak mampu melihat kehidupan yang ada sekarang? Apakah hati, mata, dan telinga, sudah benar-benar tertutup dan terkalahkan oleh  kemunkaran?  Sehingga, kemunkaran menjadi terpuji, dicintai, dan digandrungi, dan menjadi tujuan hidup? Mengapa hati, mata, dan telinga, sudah tidak sedikitpun sensitif, ketika melihat kemunkaran?
Mengapa kemunkaran menjadi idola, menjadi kenikmatan hidup, dan menjadi bagian hidup? Sehingga, seluruh indera dan pisik, hanya diarahkan menuju kepada kemunkaran. Kemunkaran dan kedurhakaan dikejar, dibela, dan bahkan ditegakkan dalam kehidupan. Melakukan kemunkaran diyakini sebagai jalan hidup. Melakukan kemunkaran sebagai pilihan hidup.
Karena itu, bangsa dan umat ini tenggelam dalam kemunkaran, dan dosa-dosa besar, yang tak terhitung lagi. Tidak berani menolak terhadap dosa-dosa besar. Tidak berani melarang, meninggalkan, dan memusuhi kemunkaran. Tetapi, bersatu dengan kemunkaran, dan hidup dengan kemunkaran. Menjalin dan bersekutu dengan kemunkaran. Semuanya dianggap sebagai jalan hidup.
Semua ulama secara ijma’ sepakat menolak kemunkaran hukumnya wajib. Tidak ada selisih diantara para ulama dan  fuqaha. Maka, setiap Muslim dan Mukmin wajib memberantas kemunkaran yang ada. Baginda Rasulullah Shallahu Alaihi Wasallam memerintahkan dengan tangan (kekuatan), kalau tidak mampu dengan lisan, dan kalau tidak mampu dengan hati. Artinya, hatinya harus menolak terhadap kemunkaran, dan membencinya.
Bagaimana kalau ada ulama yang terang-terangan mengatakan, bahwa sejuta setan Lady GaGa, tidak akan mempengaruhi umatnya dan pengikutnya? Di mana kewajiban menegakkan amar ma’ruf nahi munkar?
Padahal penyanyi yang berasal dari Amerika Serikat itu, pasti akan mengajak kepada kemunkaran. Sekurang-kurangnya melalaikan bagi orang-orang yang datang melihat konser, dan berapa banyak orang yang menonton konser itu, kemudian meninggalkan kewajiban  shalat?
Memberantas kemunkaran dan mengingkari kemunkaran itu fardhu ‘ain (kewajiban), yang sifatnya  mutlak. Melalui hati mengetahui hal-hal yang ma’ruf (kebaikan), dan mengingkari kemunkaran melalui hati sebagai fardhu ‘ain bagi Muslim dan Mukmin dalam kondisi apapun. Barangsiapa yang tidak dapat membedakan antara kebaikan dengan kemunkaran, maka manusia itu akan celaka. Barangsiapa yang mengetahui kemunkaran, tetapi tidak mengingkarinya, maka ini menjadi pertanda hilangnya iman.
Seorang shahabat Ali rodhiyallahu anhu, mengatakan,“Jihad menjadi kunci pertama kemenangan kalian, adalah jihad dengan tangan, lalu dengan lisan, lalu dengan hati. Barangsiapa yang tidak mengetahui yang baik, dan tidak mengingkari dengan hatinya kemunkaran yang terjadi, maka ia akan kalah. Sehingga, kondisi pun berbalik, yang di atas menjadi di bawah”. Maknanya, kemunkaran akan menguasai kebaikan yang ada pada  Muslim dan Mukmin.  
Shahabat Ibnu Mas’ud rodhiyallahu anhu mendengar seorang laki-laki berkata, “Celakalah orang yang tidak melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar”. Mendengar hal itu, Ibnu Mas’ud lalu berkata, “Celakalah orang yang hatinya tidak mengenal kemunkaran”.
Sesungguhnya, mengingkari kemunkaran dengan hati itu dalam kondisi lemah. Tidak seharusnya Muslim dan Mukmin hanya mampu melihat kemunkaran, hanya mampu mengingkarinya hanya dengan hati. Karena itu, selemah-lemahnya iman. Kalau hanya mengingkari dengan hati saja  sudah tidak mampu, lantas apa yang akan diperbuat oleh  Muslim dan Mukmin di negeri ini ketika melihat begitu banyak kemunkaran? Hanya  berdiam diri?
Dari Abu Sa’id  al-Khudri rodhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallahu Alaihi Wasallam bersabda,
« إِنَّ اللَّهَ لَيَسْأَلُ الْعَبْدَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَقُولَ مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَ الْمُنْكَرَ أَنْ تُنْكِرَهُ فَإِذَا لَقَّنَ اللَّهُ عَبْدًا حُجَّتَهُ قَالَ يَا رَبِّ رَجَوْتُكَ وَفَرِقْتُ مِنَ النَّاسِ ».
“Pada hari kiamat, Allah Azza Wa Jalla  akan bertanya kepada seseorang, “Apa yang menghalangimu untuk memberantas kemunkaran yang kamu lihat?” Lalu, Allah mengajarkan, “Ya Rabbi, saya mengharap pengampunan- Mu, dan saya takut musibah yang akan menimpaku, atau hartaku”. (Hadist Riwayat : Ahmad dan Ibnu Majah—shahih menurut Al-Albani).
Bagaimana kalau kita sehari-hari melihat dosa besar, dan manusia (orang)  itu ridha terhadap dosa itu, maka sama artinya manusia (orang) itu telah melakukannya, dosa besar.
Dari Al-Urs bin Umair rodhiyallahu anhu, Rasulullah Shallahu Alaihi Wasallam bersabda,
« إِذَا عُمِلَتِ الْخَطِيئَةُ فِى الأَرْضِ كَانَ مَنْ شَهِدَهَا فَكَرِهَهَا ». وَقَالَ مَرَّةً « أَنْكَرَهَا ». « كَمَنْ غَابَ عَنْهَا وَمَنْ غَابَ عَنْهَا فَرَضِيَهَا كَانَ كَمَنْ شَهِدَهَا ».
“Jika satu kemaksiatan dilakukan di muka bumi, maka orang  yang mengetahui, tapi membecinya, seperti orang yang tidak mengetahuinya. Sedangkan orang yang tidak melihatnya tapi merestuinya, maka ia seperti orang yang melihatnya”. (Hadist Riwayat Abu Dawud, dihasankan Al-Albani).
Bagaimana bila jutaan Muslim dan Mukmin, yang hari ini, kemudian hati, mata, dan telinganya melihat begitu banyak kemunkaran,  dosa besar, sedangkan tangannya tak sedikitipun tergerak, lisannya terkunci rapat, dan  hatinya  mati, tak tersentuh sedikitpun?
Masih adakah iman yang tertanam di dalam hati dan dada mereka? Sungguh sangat menyedihkan melihat Muslim dan  Mukmin di negeri ini, yang berkompromi dengan segala kemunkaran dan dosa. Sampai kapan semua ini? Wallahu a’lam. Opini redaksi voaislam.com, Kamis, 24 May 2012 diberi teks hadits dan derajatnya oleh nahimunkar.com

Mencetak Generasi Rabbani

Harga

Rp. 55.000
Rp. 43.000 (Diskon )
Pengarang: Abu Ihsan al-Atsary dan Ummu Ihsan
Penerbit
: PUSTAKA DARUL ILMI
Mendidik Buah Hati Menggapai Ridha Ilahi

Buku ini menuntun setiap orang tua agar dapat mendidik anak-anaknya dengan benar sesuai petunjuk Alloh dan RosulNya, menjadikan anak yang bukan hanya pintar dan berhasil tapi anak yang shalih dan shalihah, yang dapat menjadi Generasi robbani, generasi yang unggul keilmuan dan ketaqwaannya kepada Alloh Subhanahu Wa Ta'ala

Ketika seorang anak lahir ke dunia, pastilah berjuta harapan orang tua disematkan di diri sang anak. Banyak orang tua yang berharap anaknya kelak menjadi anak yang pintar, cerdas dan berhasil. Untuk semua itu, orang tua rela berkorban harta, mereka sangat memperhatikan segala kebutuhan anaknya dari mulai gizi, pakaian dan pendidikan, yang diberikan adalah yang berkualitas dan terbaik bagi anak-anaknya. Namun terkadang orang tua lupa, apakah semua yang telah dilakukan untuk menjacfikan sang anak pintar dan berhasil merupakan jaminan bahwa sang anak kelak akan menjadi anak yang shalih? Anak yang berbakti dan merawat orang tua di saat usia senjanya? Anak yang bisa dijadikan tabungan dan manisfestasi orang tua di akhirat? Karena, betapapun sang anak adalah anak yang pintar dan berhasil, itu sama sekali tidak berguna jika yang diberikan sang anak kepada orang tuanya adalah kedurhakaan dan kebobrokan iman. Buku ini, menuntun setiap orang tua agar dapat mendidik anak-anaknya dengan benar sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya, menjadikan anak yang bukan hanya pintar dan berhasil tapi anak yang shalih dan shalihah, yang dapat menjadi Generasi Rabbani, generasi yang unggul keilmuan dan ketaqwaannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Di antara materi pada buku ini: 1) Mendidik anak dalam kandungan 2) 10 karakter pendidik sukses Pengajaran ilmu agama dan dunia pada anak 3) Memahami psikologi anak 4) Anak dan sosial kemasyarakatan 5) Jasmani dan kesehatan pada anak 6) Menempa mental anak 7) Persiapkan anak untuk berdakwah di jalan Allah 8) Metode pengajaran pada anak 9) Anak dan pendidikan seksual dll.

Buku ini cocok untuk setiap yang sudah menikah maupun yang akan menikah.
So, miliki segera bukunya...!!!
Thoyyib!!!

Surat Terbuka Untuk Para Suami dan Istri


Penerbit Pustaka Imam Syafii
Penulis Ummu Ihsan dan Abu Ihsan al-Atsari
Harga Buku Surat Terbuka Untuk Para Istri Rp 30.000
Harga Buku Surat Terbuka Untuk Para Suami Rp 30.000
Harga Belum Diskon 20%

Sungguh kebahagiaan rumah tangga adalah dambaan setiap insan, kesuksesan sepasang suami isteri dalam membina rumah tangga merupakan penopang terciptanya kedamaian ditengah masyarakat. Bahkan Rasullulah menyatakan bahwa seseorang yang telah membina kehidupan rumah tangga berarti ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Risalah yang sangat berharga ini merupakan nasihat bagi para pasangan suami isteri dan para pemuda-pemudi yang akan melangkah menuju jenjang pernikahan yang berkah dan bernilai ibadah.


Minggu, 27 Mei 2012

Jurus Jitu Mendidik Anak

Jurus Jitu Mendidik Anak


Aug 10, 11
Prolog
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Di bulan Ramadhan tahun ini, kami mendapat amanah untuk mengimami shalat Tarawih dan Subuh di Masjid Agung
Darussalam Purbalingga selama lima hari. Masih dalam rangkaiannya, kami ditugaskan untuk memberikan kuliah Tarawih
dan kuliah Subuh. Kebetulan materi pengajian Tarawih seputar pilar-pilar penting dalam mendidik anak.
Karena banyaknya permintaan dari jama’ah, bahan materi tersebut kami kumpulkan dalam bentuk makalah yang kami beri judul
“Jurus Jitu Mendidik Anak”. Tentu masih terlalu jauh dari  format sempurna, namun semoga yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak -yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu- yang turut andil dalam amal salih ini.
Tegur sapa para pembaca kami nantikan. Selamat menelaah!

JURUS PERTAMA: MENDIDIK ANAK PERLU ILMU
Ilmu merupakan kebutuhan primer setiap insan dalam setiap lini kehidupannya, termasuk dalam mendidik anak. Bahkan kebutuhan dia terhadap ilmu dalam mendidik anak, melebihi kebutuhannya terhadap ilmu dalam menjalankan pekerjaannya.
Namun, realita berkata lain. Rupanya tidak sedikit di antara kita mempersiapkan ilmu untuk kerja lebih banyak daripada ilmu untuk menjadi orangtua. Padahal tugas kita menjadi orangtua dua puluh empat jam sehari semalam, termasuk saat tidur, terjaga serta antara sadar dan tidak. Sementara tugas kita dalam pekerjaan, hanya sebatas jam kerja.
Betapa banyak suami yang menyandang gelar bapak hanya karena istrinya melahirkan. Sebagaimana banyak wanita disebut ibu semata-mata karena dialah yang melahirkan. Bukan karena mereka menyiapkan diri menjadi orangtua. Bukan pula karena mereka memiliki kepatutan sebagai orangtua.
Padahal, menjadi orangtua harus berbekal ilmu yang memadai. Sekadar memberi mereka uang dan memasukkan di sekolah unggulan, tak cukup untuk membuat anak kita menjadi manusia unggul. Sebab, sangat banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap.
Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya.
Uang juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk menghibur anak, tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas.
Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang kokoh bangunannya. Mereka mendapatkan apa saja dari orangtuanya, kecuali perhatian, ketulusan dan kasih sayang!
Ilmu apa saja yang dibutuhkan?
Banyak jenis ilmu yang dibutuhkan orangtua dalam mendidik anaknya. Mulai dari ilmu agama dengan berbagai varianya, hingga ilmu cara berkomunikasi dengan anak.
Jenis ilmu agama pertama dan utama yang harus dipelajari orangtua adalah akidah. Sehingga ia bisa menanamkan akidah yang lurus dan keimanan yang kuat dalam jiwa anaknya. Nabi shallallahu’alaihiwasallam mencontohkan bagaimana membangun pondasi tersebut dalam jiwa anak, dalam salah satu sabdanya untuk Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,
“إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّه”.
“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah”. HR. Tirmidzi dan beliau berkomentar, “Hasan sahih”.
Selanjutnya ilmu tentang cara ibadah, terutama shalat dan cara bersuci. Demi merealisasikan wasiat Nabi shallallahu’alaihiwasallam untuk para orangtua,
“مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْر”.
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berumur tujuh tahun, dan pukullah jika enggan saat mereka berumur sepuluh tahun”. HR. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albany.
Bagaimana mungkin orangtua akan memerintahkan shalat pada anaknya, jikalau ia tidak mengerti tatacara shalat yang benar. Mampukah orang yang tidak mempunyai sesuatu, untuk memberikan sesuatu kepada orang lain?
Berikutnya ilmu tentang akhlak, mulai adab terhadap orangtua, tetangga, teman, tidak lupa adab keseharian si anak. Bagaimana cara makan, minum, tidur, masuk rumah, kamar mandi, bertamu dan lain-lain.
Dalam hal ini Nabi shallallahu’alaihiwasallam mempraktekkannya sendiri, antara lain ketika beliau bersabda menasehati seorang anak kecil,
“يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ”.
“Nak, ucapkanlah bismillah (sebelum engkau makan) dan gunakanlah tangan kananmu”. HR. Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abi Salamah.
Yang tidak kalah pentingnya adalah: ilmu seni berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak. Bagaimana kita menghadapi anak yang hiperaktif atau sebaliknya pendiam. Bagaimana membangun rasa percaya diri dalam diri anak. Bagaimana memotivasi mereka untuk gemar belajar. Bagaimana menumbuhkan bakat yang ada dalam diri anak kita. Dan berbagai konsep-konsep dasar pendidikan anak lainnya.

Ayo belajar!
Semoga pemaparan singkat di atas bisa menggambarkan pada kita urgensi ilmu dalam mendidik anak. Sehingga diharapkan bisa mendorong kita untuk terus mengembangkan diri, meningkatkan pengetahuan kita, menghadiri majlis taklim, membaca buku-buku panduan pendidikan. Agar kita betul-betul menjadi orangtua yang sebenarnya, bukan sekedar orang yang lebih tua dari anaknya!

JURUS KEDUA: MENDIDIK ANAK PERLU KESALIHAN ORANGTUA
Tentu Anda masih ingat kisah ‘petualangan’ Nabi Khidir dengan Nabi Musa ‘alaihimassalam. Ya, di antara penggalan kisahnya adalah apa yang Allah sebutkan dalam surat al-Kahfi. Manakala mereka berdua memasuki suatu kampung dan penduduknya enggan untuk sekedar menjamu mereka berdua. Sebelum meninggalkan kampung tersebut, mereka menemukan rumah yang hampir ambruk. Dengan ringan tangan Nabi Khidir memperbaiki tembok rumah tersebut, tanpa meminta upah dari penduduk kampung. Nabi Musa terheran-heran melihat tindakannya. Nabi Khidir pun beralasan, bahwa rumah tersebut milik dua anak yatim dan di bawahnya terpendam harta peninggalan orangtua mereka yang salih. Allah berkehendak menjaga harta tersebut hingga kedua anak tersebut dewasa dan mengambil manfaat dari harta itu.
Para ahli tafsir menyebutkan, bahwa di antara pelajaran yang bisa dipetik dari kisah di atas adalah: Allah akan menjaga keturunan seseorang manakala ia salih, walaupun ia telah meninggal dunia sekalipun.
Subhânallâh, begitulah dampak positif kesalihan orang tua! Sekalipun telah meninggal dunia masih tetap dirasakan oleh keturunannya. Bagaimana halnya ketika ia masih hidup?? Tentu lebih besar dan lebih besar lagi dampak positifnya.
Urgensi kesalihan orangtua dalam mendidik anak
Kita semua mempunyai keinginan dan cita-cita yang sama. Ingin agar keturunan kita menjadi anak yang salih dan salihah. Namun, terkadang kita lupa bahwa modal utama untuk mencapai cita-cita mulia tersebut ternyata adalah: kesalihan dan ketakwaan kita selaku orangtua. Alangkah lucunya, manakala kita berharap anak menjadi salih dan bertakwa, sedangkan kita sendiri berkubang dalam maksiat dan dosa!
Kesalihan jiwa dan perilaku orangtua mempunyai andil yang sangat besar dalam membentuk kesalihan anak. Sebab ketika si anak membuka matanya di muka bumi ini, yang pertama kali ia lihat adalah ayah dan bundanya. Manakala ia melihat orangtuanya berhias akhlak mulia serta tekun beribadah, niscaya itulah yang akan terekam dengan kuat di benaknya. Dan insyaAllah itupun juga yang akan ia praktekkan dalam kesehariannya. Pepatah mengatakan: “buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Betapa banyak ketakwaan pada diri anak disebabkan ia mengikuti ketakwaan kedua orangtuanya atau salah seorang dari mereka. Ingat karakter dasar manusia, terutama anak kecil, yang suka meniru!

Beberapa contoh aplikasi nyatanya
Manakala kita menginginkan anak kita rajin untuk mendirikan shalat lima waktu, gamitlah tangannya dan berangkatlah ke masjid bersama. Bukan hanya dengan berteriak memerintahkan anak pergi ke masjid, sedangkan Anda asyik menonton televisi.
Jika Anda berharap anak rajin membaca al-Qur’an, ramaikanlah rumah dengan lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an yang keluar dari lisan ayah, ibu ataupun kaset dan radio. Jangan malah Anda menghabiskan hari-hari dengan membaca koran, diiringi lantunan langgam gendingan atau suara biduanita yang mendayu-dayu!
Kalau Anda menginginkan anak jujur dalam bertutur kata, hindarilah berbohong sekecil apapun. Tanpa disadari, ternyata sebagai orang tua kita sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak jalan-jalan mengelilingi perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengatakan, “Bapak hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya. Sebentaaar saja ya sayang…”. Tapi ternyata, kita malah pulang malam!
Dalam contoh di atas, sejatinya kita telah berbohong kepada anak, dan itu akan ditiru olehnya.
Terus apa yang sebaiknya kita lakukan? Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan lembut dan penuh kasih serta pengertian, “Sayang, bapak mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo bapak ke kebun binatang, insyaAllah kamu bisa ikut”.
Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya akan membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita perlu bersabar dan melakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak akan memahami mengapa orangtuanya selalu pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut.
Anda ingin anak jujur? Mulailah dari diri Anda sendiri!

Sebuah renungan penutup
Tidak ada salahnya kita putar ingatan kepada beberapa puluh tahun ke belakang, saat sarana informasi dan telekomunikasi masih amat terbatas, lalu kita bandingkan dengan zaman ini dan dampaknya yang luar biasa untuk para orangtua dan anak.
Dulu, masih banyak ibu-ibu yang rajin mengajari anaknya mengaji, namun sekarang mereka telah sibuk dengan acara televisi. Dahulu ibu-ibu dengan sabar bercerita tentang kisah para nabi, para sahabat hingga teladan dari para ulama, sekarang mereka lebih nyaman untuk menghabiskan waktu berfacebookan dan akrab dengan artis di televisi. Dulu bapak-bapak mengajari anaknya sejak dini tatacara wudhu, shalat dan ibadah primer lainnya, sekarang mereka sibuk mengikuti berita transfer pemain bola!
Bagaimana kondisi anak-anak saat ini, dan apa yang akan terjadi di negeri kita lima puluh tahun ke depan, jika kondisi kita terus seperti ini??
Jika kita tidak ingin menjumpai mimpi buruk kehancuran negeri ini, persiapkan generasi muda sejak sekarang. Dan untuk merealisasikan itu, mulailah dengan memperbaiki diri kita sendiri selaku orangtua! Sebab mendidik anak memerlukan kesalihan orangtua.
Semoga Allah senantiasa meridhai setiap langkah baik kita, amien…

JURUS KETIGA: MENDIDIK ANAK PERLU KEIKHLASAN
Ikhlas merupakan ruh bagi setiap amalan. Amalan tanpa disuntik keikhlasan bagaikan jasad yang tak bernyawa.
Termasuk jenis amalan yang harus dilandasi keikhlasan adalah mendidik anak. Apa maksudnya?
Maksudnya adalah: Rawat dan didik anak dengan penuh ketulusan dan niat ikhlas semata-mata mengharapkan keridhaan Allah ta’ala.
Canangkan niat semata-mata untuk Allah dalam seluruh aktivitas edukatif, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan maupun hukuman. Iringilah setiap kata yang kita ucapkan dengan keikhlasan..
Bahkan dalam setiap perbuatan yang kita lakukan untuk merawat anak, entah itu bekerja membanting tulang guna mencari nafkah untuknya, menyuapinya, memandikannya hingga mengganti popoknya, niatkanlah semata karena mengharap ridha Allah.
Apa sih kekuatan keikhlasan?
Ikhlas memiliki dampak kekuatan yang begitu dahsyat. Di antaranya:
  1. Dengan ketulusan, suatu aktivitas akan terasa ringan. Proses membuat dan mendidik anak, mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, membimbing hingga mendidik, jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Puluhan tahun! Tentu di rentang waktu yang cukup panjang tersebut, terkadang muncul dalam hati rasa jenuh dan kesal karena ulah anak yang kerap menjengkelkan. Seringkali tubuh terasa super capek karena banyaknya pekerjaan; cucian yang menumpuk, berbagai sudut rumah yang sebentar-sebentar perlu dipel karena anak ngompol di sana sini dan tidak ketinggalan mainan yang selalu berserakan dan berantakan di mana-mana.Anda ingin seabreg pekerjaan itu terasa ringan? Jalanilah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan! Sebab seberat apapun pekerjaan, jika dilakukan dengan ikhlas insyaAllah akan terasa ringan, bahkan menyenangkan. Sebaliknya, seringan apapun pekerjaan, kalau dilakukan dengan keluh kesah pasti akan terasa seberat gunung dan menyebalkan.
  1. Dengan keikhlasan, ucapan kita akan berbobot. Sering kita mencermati dan merasakan bahwa di antara kata-kata kita, ada yang sangat membekas di dada anak-anak yang masih belia hingga mereka dewasa kelak. Sebaliknya, tak sedikit ucapan yang bahkan kita teriakkan keras-keras di telinganya, ternyata berlalu begitu saja bagai angin malam yang segera hilang kesejukannya begitu mentari pagi bersinar.Apa yang membedakan? Salah satunya adalah kekuatan yang menggerakkan kata-kata kita. Jika Engkau ucapkan kata-kata itu untuk sekedar meluapkan amarah, maka anak-anak itu akan mendengarnya sesaat dan sesudah itu hilang tanpa bekas. Namun jika Engkau ucapkan dengan sepenuh hati sambil mengharapkan turunnya hidayah untuk anak-anak yang Engkau lahirkan dengan susah payah itu, insya Allah akan menjadi perkataan yang berbobot.Sebab bobot kata-kata kita kerap bersumber bukan dari manisnya tutur kata, melainkan karena kuatnya penggerak dari dalam dada; iman kita dan keikhlasan kita…
  1. Dengan keikhlasan anak kita akan mudah diatur. Jangan pernah meremehkan perhatian dan pengamatan anak kita. Anak yang masih putih dan bersih dari noda dosa akan begitu mudah merasakan suasana hati kita.Dia bisa membedakan antara tatapan kasih sayang dengan tatapan kemarahan, antara dekapan ketulusan dengan pelukan kejengkelan, antara belaian cinta dengan cubitan kesal. Bahkan ia pun bisa menangkap suasana hati orangtuanya, sedang tenang dan damaikah, atau sedang gundah gulana?Manakala si anak merasakan ketulusan hati orangtuanya dalam setiap yang dikerjakan, ia akan menerima arahan dan nasehat yang disampaikan ayah dan bundanya, karena ia menangkap bahwa segala yang disampaikan padanya adalah semata demi kebaikan dirinya.
  1. Dengan keikhlasan kita akan memetik buah manis pahala. Keikhlasan bukan hanya memberikan dampak positif di dunia, namun juga akan membuahkan pahala yang amat manis di alam sana. Yang itu berujung kepada berkumpulnya orangtua dengan anak-anaknya di negeri keabadian; surga Allah yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan.
وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
Artinya: “Orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami akan pertemukan mereka dengan anak cucu mereka”. QS. Ath-Thur: 21.
Dipertemukan di mana? Di surga Allah jalla wa ‘ala!

Mulailah dari sekarang!
Latih dan biasakan diri untuk ikhlas dari sekarang, sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan.
Kalau Engkau bangun di tengah malam untuk membuatkan susu buat anakmu, aduklah ia dengan penuh keikhlasan sambil mengharap agar setiap tetes yang masuk kerongkongannya akan menyuburkan setiap benih kebaikan dan menyingkirkan setiap bisikan yang buruk.
Kalau Engkau menyuapkan makanan untuknya, suapkanlah dengan penuh keikhlasan sembari memohon kepada Allah agar setiap makanan yang mengalirkan darah di tubuh mereka akan mengokohkan tulang-tulang mereka, membentuk daging mereka dan membangkitkan jiwa mereka sebagai penolong-penolong agama Allah.
Sehingga dengan itu, semoga setiap suapan yang masuk ke mulut mereka akan membangkitkan semangat dan meninggikan martabat. Mereka akan bersemangat untuk senantiasa menuntut ilmu, beribadah dengan tekun kepada Allah dan meninggikan agama-Nya. Amîn yâ mujîbas sâ’ilîn…

JURUS KEEMPAT: MENDIDIK ANAK PERLU KESABARAN
Sabar merupakan salah satu syarat mutlak bagi mereka yang ingin berhasil mengarungi kehidupan di dunia. Kehidupan yang tidak lepas dari susah dan senang, sedih dan bahagia, musibah dan nikmat, menangis dan tertawa, sakit dan sehat, lapar dan kenyang, rugi dan untung, miskin dan kaya, serta mati dan hidup.
Di antara episode perjalanan hidup yang membutuhkan kesabaran ekstra adalah masa-masa mendidik anak. Sebab rentang waktunya tidak sebentar dan seringkali anak berperilaku yang tidak sesuai dengan harapan kita.
Contoh aplikasi kesabaran
  1. Sabar dalam membiasakan perilaku baik terhadap anak. Anak bagaikan kertas yang masih putih, tergantung siapa yang menggoreskan lukisan di atasnya. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menggambarkan hal itu dalam sabdanya,
“مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه”
“Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi”. HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Andaikan sejak kecil anak dibiasakan berperilaku baik, mulai dari taat beribadah hingga adab mulia dalam keseharian, insyaAllah hal itu akan sangat membekas dalam dirinya. Sebab mendidik di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu.
Mengukir di atas batu membutuhkan kesabaran dan keuletan, namun jika ukiran tersebut telah jadi niscaya ia akan awet dan tahan lama.
  1. Sabar dalam menghadapi pertanyaan anak. Menghadapi pertanyaan anak, apalagi yang baru saja mulai tumbuh dan menginginkan untuk mengetahui segala sesuatu yang ia lihat, memerlukan kesabaran yang tidak sedikit. Terkadang timbul rasa jengkel dengan pertanyaan anak yang tidak ada habis-habisnya, hingga kerap kita kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaannya.Sesungguhnya kesediaan anak untuk bertanya kepada kita, ‘seburuk’ apa pun pertanyaan yang ia lontarkan, merupakan pertanda bahwa mereka memberikan kepercayaannya kepada kita untuk menjawab. Maka jalan terbaik adalah menghargai kepercayaannya dengan tidak mematikan kesediaannya untuk bertanya, serta memberikan jawaban yang mengena dan menghidupkan jiwa.Jika kita ogah-ogahan untuk menjawab pertanyaan anak atau menjawab sekenanya atau bahkan justru menghardiknya, hal itu bisa berakibat fatal. Anak tidak lagi percaya dengan kita, sehingga ia akan mencari orang di luar rumah yang dianggapnya bisa memuaskan pertanyaan-pertanyaan dia. Dan tidak ada yang bisa menjamin bahwa orang yang ditemuinya di luar adalah orang baik-baik! Ingat betapa rusaknya pergaulan di luar saat ini!
  1. Sabar menjadi pendengar yang baik. Banyak orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak-anaknya. Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orangtua lebih suka menyela, langsung menasihati tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal-usul kejadiannya.Salah satu contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya siang ternyata baru pulang sore hari. Kita tidak mendapat pemberitahuan apa pun darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita merasa kesal menunggu, sekaligus juga khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak berbicara, kita selalu memotongnya, dengan ungkapan, “Sudah-sudah tidak perlu banyak alasan”, atau “Ah, papa/mama tahu kamu pasti main ke tempat itu lagi kan?!”. Akibatnya, ia malah tidak mau bicara dan marah pada kita.Pada saat seperti itu, yang sangat dibutuhkan oleh seorang anak adalah ingin didengarkan terlebih dahulu dan ingin diperhatikan. Mungkin keterlambatannya ternyata disebabkan adanya tugas mendadak dari sekolah. Ketika anak tidak diberi kesempatan untuk berbicara, ia merasa tidak dihargai dan akhirnya dia juga berbalik untuk tidak mau mendengarkan kata-kata kita.Yang sebaiknya dilakukan adalah, kita memulai untuk menjadi pendengar yang baik.  Berikan kepada anak waktu yang seluas-luasnya untuk mengungkapkan segalanya. Bersabarlah untuk tidak berkomentar sampai saatnya tiba. Ketika anak sudah selesai menjelaskan duduk permasalahan, barulah Anda berbicara dan menyampaikan apa yang ingin Anda sampaikan.
  1. Sabar manakala emosi memuncak. Hendaknya kita tidak memberikan sanksi atau hukuman pada anak ketika emosi kita sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, cenderung untuk menyakiti dan menghakimi, tidak untuk menjadikan anak lebih baik.Yang seyogyanya dilakukan adalah: bila kita dalam keadaan sangat marah, segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk menurunkan amarah kita dengan segera. Bisa dengan mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu’alaihiwasallam; yakni berwudhu.Jika kita bertekad untuk tetap memberikan sanksi, tundalah sampai emosi kita mereda. Setelah itu pilih dan susunlah bentuk hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuatnya. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan untuk menyakiti.Berakit-rakit ke huluPepatah Arab mengatakan, “Sabar bagaikan buah brotowali, pahit rasanya, namun kesudahannya lebih manis daripada madu”.Sabar dalam mendidik anak memang terasa berat, namun tunggulah buah manisnya kelak di dunia maupun akhirat. Di dunia mereka akan menjadi anak-anak yang menurut kepada orangtuanya insyaAllah. Dan manakala kita telah masuk di alam akhirat mereka akan terus mendoakan kita, sehingga curahan pahala terus mengalir deras. Semoga…

JURUS KELIMA: MENDIDIK ANAK PERLU IRINGAN DOA
Beberapa saat lalu saya mampir shalat Jum’at di masjid salah satu perumahan di bilangan Sokaraja Banyumas. Di sela-sela khutbahnya, khatib bercerita tentang kejadian yang menimpa sepasang suami istri. Keduanya terkena stroke, namun sudah sekian bulan tidak ada satupun di antara anaknya yang datang menjenguk. Manakala dibesuk oleh si khatib, sang bapak bercerita sambil menangis terisak, “Mungkin Allah telah mengabulkan doa saya. Sekarang inilah saya merasakan akibat dari doa saya! Dahulu saya selalu berdoa agar anak-anak saya jadi ‘orang’. Berhasil, kaya, sukses dst. Benar, ternyata Allah mengabulkan seluruh permintaan saya. Semua anak saya sekarang menjadi orang kaya dan berhasil. Mereka tinggal di berbagai pulau di tanah air, jauh dari saya. Memang mereka semua mengirimkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan semua menelpon saya untuk segera berobat. Namun bukan itu yang saya butuhkan saat ini. Saya ingin belaian kasih sayang tangan mereka. Saya ingin dirawat dan ditunggu mereka, sebagaimana dulu saya merawat mereka”.
Ya, berhati-hatilah Anda dalam memilih redaksi doa, apalagi jika itu ditujukan untuk anak Anda. Tidak ada redaksi yang lebih baik dibandingkan redaksi doa yang diajarkan dalam al-Qur’an dan Hadits. “Robbanâ hablanâ min azwâjinâ wa dzurriyyâtinâ qurrota a’yun, waj’alnâ lil muttaqîna imâmâ” (Wahai Rabb kami, karuniakanlah pada kami pasangan dan keturunan yang menyejukkan pandangan mata. Serta jadikanlah kami imam bagi kaum muttaqin). QS. Al-Furqan: 74.

Seberapa besar sih kekuatan doa?
Sebesar apapun usaha orangtua dalam merawat, mendidik, menyekolahkan dan mengarahkan anaknya, andaikan Allah ta’ala tidak berkenan untuk menjadikannya anak salih, niscaya ia tidak akan pernah menjadi anak salih. Hal ini menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah dan betapa kecilnya kekuatan kita. Ini jelas memotivasi kita untuk lebih membangun ketergantungan dan rasa tawakkal kita kepada Allah jalla wa ‘ala. Dengan cara, antara lain, memperbanyak menghiba, merintih, memohon bantuan dan pertolongan dari Allah dalam segala sesuatu, terutama dalam hal mendidik anak.
Secara khusus, doa orangtua untuk anaknya begitu spesial. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan hal itu dalam sabdanya,
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga doa yang akan dikabulkan tanpa ada keraguan sedikitpun. Doa orangtua, doa musafir dan doa orang yang dizalimi”. HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany.

Sejak kapan kita mendoakan anak kita?
Sejak Anda melakukan proses hubungan suami istri telah disyariatkan untuk berdoa demi kesalihan anak Anda. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
“إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ وَقَالَ: “بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا” فَرُزِقَا وَلَدًا لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ”
“Jika salah seorang dari kalian sebelum bersetubuh dengan istrinya ia membaca “Bismillah, allôhumma jannibnasy syaithôn wa jannibisy syaithôna mâ rozaqtanâ” (Dengan nama Allah. Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan pada kami), lalu mereka berdua dikaruniai anak; niscaya setan tidak akan bisa mencelakakannya”. HR. Bukhari (hal. 668 no. 3271) dan Muslim (X/246 no. 3519) dari Ibnu Abbas.
Ketika anak telah berada di kandungan pun jangan pernah lekang untuk menengadahkan tangan dan menghadapkan diri kepada Allah, memohon agar kelak keturunan yang lahir ini menjadi generasi yang baik. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mencontohkan,
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Wahai Rabbi, anugerahkanlah kepadaku (anak) yang termasuk orang-orang salih”. QS. Ash-Shâffât: 100.
Nabi Zakariya ‘alaihissalam juga demikian,
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Ya Rabbi, berilah aku dari sisiMu keturunan yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. QS. Ali Imran: 38.
Setelah lahir hingga anak dewasa sekalipun, kawal dan iringilah terus dengan doa. Pilihlah waktu-waktu yang mustajab. Antara adzan dengan iqamah, dalam sujud dan di sepertiga malam terakhir misalnya.Bahkan tidak ada salahnya ketika berdoa, Anda perdengarkan doa tersebut di hadapan anak Anda. Selain untuk mengajarkan doa-doa nabawi tersebut, juga agar dia melihat dan memahami betapa besar harapan Anda agar dia menjadi anak salih.

Awas, hati-hati!
Doa orangtua itu mustajab, baik doa tersebut bermuatan baik maupun buruk. Maka berhati-hatilah wahai para orangtua. Terkadang ketika Anda marah, tanpa terasa terlepas kata-kata yang kurang baik terhadap anak Anda, lalu Allah mengabulkan ucapan tersebut, akibatnya Anda menyesal seumur hidup.
Dikisahkan ada seorang yang mengadu kepada Imam Ibn al-Mubarak mengeluhkan tentang anaknya yang durhaka. Beliau bertanya, “Apakah engkau pernah mendoakan tidak baik untuknya?”. “Ya” sahutnya. “Engkau sendiri yang merusak anakmu” pungkas sang Imam.
Ditulis di Pesantren Tunas Ilmu, Kedungwuluh Purbalingga, 9 Ramadhan 1432 / 9 Agustus 2011
Penulis Abdullah Zaen, Lc,. MA
"TERIMAKASIH SUDAH MAMPIR KE BLOG INI SILAHKAN DILIHAT DULU KATALOG DAN RESENSI BUKUNYA SEMOGA BERKENAN JAZAKUMULLAH KHOIRON KATSIRAN"