Tak seorangpun rela dan suka dibohongi. Tapi anehnya, rata-rata orang
tidak membenci dirinya berbohong. Sebagian bahkan merasa enjoy dan
menikmati kebiasaan dusta. Memang, awal mula dusta itu tidak terjadi
begitu saja. Ada faktor pemicunya, dan ada segudang alasan sehingga
banyak orang nekat melakukannya.
Untung Diharap, Apes Didapat
Adakalanya seseorang berdusta demi mendapatkan berbagai manfaat.
Seperti dusta yang dijalani saat berjual beli. Dalam hitungan matematis,
pembohong itu merasa mendapat keuntungan dengan menipu. Karena dia
mendapatkan selisih keuntungan dari takaran, timbangan maupun kualitas
barang. Hingga dusta menjadi jurus andalan untuk mengeruk keuntungan.
Ia lupa bahwa ada Dzat yang kuasa menentukan kadar keuntungan, yang
tidak terikat oleh rumus matematis atau kalkulasi yang dibuat oleh
manusia. Dzat yang kuasa untuk menimpakan kebangkrutan di luar
perhitungan para penipu yang ingin kaya dengan cara berbuat curang. Dan
Nabi telah mengabarkan kerugian yang dialami oleh orang yang berjual
beli dengan dusta,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ
صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا
وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Dua orang yang bertransaksi jual beli itu punya hak khiyar (memilih)
selama belum berpisah. Bila keduanya jujur dan menerangkan (apa
adanya), maka keduanya akan diberi barakah dalam jual belinya. Tapi bila
mereka berdusta dan menyembunyikan (cacat) maka akan dihilangkan
keberkahan jual beli keduanya.” (HR Bukhari dan Abu Dawud)
Alloh berkehendak membalas tipu daya orang yang ingin meraup untung
dengan jalan yang haram. Hingga apa yang didapatkan akhirnya
berkebalikan dengan apa yang diharapkan. Dusta akan melenyapkan
keberkahan dan kemanfaatan rejeki, mendatangkan kesulitan dan
kesempitan, serta menghilangkan kepercayaan pelanggan terhadapnya.
Karena betapapun pintar seseorang menyembunyikan kedustaan, akhirnya
akan terendus juga. Dan tatkala orang-orang telah mengetahui pedagang
yang suka mengelabuhi, maka takkan ada lagi yang sudi untuk berjual
beli.
Mencari Simpati Menuai Caci
Adakalanya seseorang berdusta untuk menaikkan gengsinya di hadapan
manusia. Atau ingin menarik simpati orang yang diajaknya bicara. Iapun
berusaha memoles kata, menghiasi cengkerama dengan kisah yang hiperbola,
dan membumbui cerita dengan data-data dusta tentang dirinya. Tentang
aset yang dimilikinya, kepahlawanannya, atau aktifitas palsu yang
membuat lawan bicara berdecak kagum terhadapnya.
Hanya orang yang cupet nalar dan berakal dangkal, yang ingin menarik
simpati orang dengan jalan mengumbar dusta. Sungguh dia tak pernah
belajar dari pengalaman. Bukankah masing-masing kita pernah merasa
kecewa berat karena ditipu, merasa jengkel dan betapa merasa bodohnya
kita saat kita terbuai oleh kata-kata manis yang menipu. Dan akhirnya
kita memutuskan untuk tidak respek kepada si pembohong, dan memberikan
stempel buruk terhadapnya. Maka jika kita pernah mengalami peristiwa
semisal ini, bagaimana mungkin kita akan menjadikan dusta sebagai cara
memperoleh simpati?
Sesaat, terkadang dusta memang bisa menaikkan pamor, menarik simpati
pendengar bahkan boleh jadi lawan bicara lantas memutuskan untuk
mengiyakan ajakannya. Namun, itu tak akan berlangsung lama. Seperti kata
pepatah “sepandai-pandai menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga.”
Dan jeda antara dusta dan waktu terbongkarnya, pembohong tak pernah
merasakan lega dan tenang di hatinya. Rasa was-was dan bayang-bayang
resiko yang ditimbulkan oleh kebohongannya selalu menghantui pikirannya.
Dan iapun tahu, bahwa kelak akan terkuak juga, seperti menunggu bom
waktu, yang ia tidak tahu kapan akan meledak dan meluluhlantakkan
dirinya.
Yang sebenarnya, tidak ada kata yang lebih enak untuk didengar, lebih
menenangkan hati bagi pembicara dan lebih mengundang simpati dari
kejujuran. Dan tiada kata yang lebih menyakitkan, membuat hati was-was
dan mendatangkan kebencian dari kedustaan. Maka benarlah yang disabdakan
Nabi n,
فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيْبَة
“Sesungguhnya kejujuran itu (membawa) ketenangan, dan kedustaan itu
(menyebabkan) kebimbangan.” (HR Tirmidzi, beliau mengatakan “hadits
hasan”)
Kejujuran tak akan berkurang kadar kebaikannya, meski kita berada di
zaman yang dipenuhi oleh atmosfir kedustaan. Yang menganggap kedustaan
sebagai kecerdikan, dan memandang kejujuran sebagai kampungan atau
kepolosan. Alangkah indah ungkapan sahabat Umar bin Khathab, “Sungguh,
aku direndahkan orang karena kejujuranku, itu lebih aku sukai daripada
aku disanjung karena kedustaanku.”
Karena sanjungan semisal itu hanyalah semu dan hanya muncul dari
orang-orang yang tidak tahu. Sementara yang pasti, dusta itu kotor dan
keji. Ada riwayat yang disebutkan oleh Imam Tirmidzi bahwa, “Jika
seorang hamba berdusta, maka malaikat akan menjauh darinya sejauh satu
mil lantaran bau busuk yang keluar dari lisannya.” Tirmidzi menyatakan
haditsnya hasan, hanya saja Syeikh al-Albani menyatakan sebagai hadits
dha’if.
Dusta Berakhir Derita
Sebagaimana kerugian akan dialami oleh pendusta dalam hal duniawi,
begitupun dalam hal ukhrawi. Satu dusta akan melahirkan dusta kedua
untuk menutupi dusta pertamanya. Dusta kedua akan mengundang dusta yang
ketiga demi menutupi dusta yang kedua, dan seterusnya. Karena dusta
berpotensi kuat untuk beranak pinak dan berkembang biak.
Bukan saja mengundang dusta berikutnya, bahkan dusta bisa menjadi
awal dari dosa apa saja. Baik berhubungan dengan Sang Pencipta, maupun
dengan sesama manusia. Karena dengan lisannya dia merasa aman untuk
menutupi dosanya di hadapan manusia. Maka yang terus menjadi
perhatiannya adalah, bagaimana ia bisa berdosa apa saja sekaligus
menyiapkan alibi dusta untuk menutupinya. Namun, ia tidak bisa
bersembunyi dari Alloh. Jika kedustaannya tak terendus oleh manusia yang
mempercayainya, itu bukan berarti Alloh mengasihinya. Bukan pula Alloh
tidak punya cara untuk menyingkapnya di tengah manusia. Justru dengan
kelihaiannya dalam berdusta, semakin bersemangatlah ia untuk menumpuk
dosa, dan jika dosa telah menggunung, kemana lagi ujung perjalanannya
kalau bukan ke neraka. Nabi n bersabda,
وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ
”Jauhilah oleh kalian dusta, karena dusta itu membawa kepada dosa, dan dosa itu menjerumuskan ke neraka.” (HR )
Semoga Alloh menjauhkan kita dari sifat dusta, aamiin. (Abu Umar Abdillah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar