Keutamaan Cinta Akhirat Dan Zuhud Dalam Kehidupan Dunia
Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Kami mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Kami mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
(( مَنْ كانت الدنيا هَمَّهُ فَرَّق
الله عليه أمرَهُ وجَعَلَ فَقْرَهُ بين عينيه ولم يَأْتِه من الدنيا إلا ما كُتِبَ
له، ومن كانت الآخرةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللهُ له أَمْرَهُ وجَعَلَ غِناه في
قَلْبِه وأَتَتْهُ الدنيا وهِيَ راغِمَةٌ
“Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan
mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup
(selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda)
duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang
(menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan
urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan
(harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di
hadapannya)“[1].
Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan cinta kepada akhirat dan
zuhud dalam kehidupan dunia, serta celaan dan ancaman besar bagi orang yang
terlalu berambisi mengejar harta benda duniawi[2].
Beberapa faidah penting yang terkandung
dalam hadits ini:
- Orang yang cinta kepada akhirat akan memperoleh rezki yang telah Allah
tetapkan baginya di dunia tanpa bersusah payah, berbeda dengan orang yang
terlalu berambisi mengejar dunia, dia akan memperolehnya dengan susah payah
lahir dan batin[3].
Salah seorang ulama salaf berkata,
“Barangsiapa yang mencintai dunia (secara berlebihan) maka hendaknya dia
mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam musibah (penderitaan)“[4].
- Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata[5],
“Orang yang mencintai dunia (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga
(macam penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang selalu menyertainya,
kepayahan yang tiada henti, dan penyesalan yang tiada berakhir. Hal ini
dikarenakan orang yang mencintai dunia (secara berlebihan) jika telah
mendapatkan sebagian dari (harta benda) duniawi maka nafsunya (tidak pernah
puas dan) terus berambisi mengejar yang lebih daripada itu, sebagaimana dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya seorang manusia memiliki dua
lembah (yang berisi) harta (emas) maka dia pasti (berambisi) mencari lembah
harta yang ketiga“[6].
- Kekayaan yang hakiki adalah kekakayaan dalam hati/jiwa. Rasululah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya
harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (dalam) jiwa“[7].
- Kebahagiaan hidup dan keberuntungan di dunia dan akhirat hanyalah bagi
orang yang cinta kepada Allah dan hari akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh sangat beruntung seorang yang
masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan
kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Ta’ala
berikan kepadanya”[8].
- Sifat yang mulia ini dimiliki dengan sempurna oleh para sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan inilah yang menjadikan mereka lebih
utama dan mulia di sisi Allah Ta’ala dibandingkan generasi yang
datang setelah mereka. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kalian
lebih banyak berpuasa, (mengerjakan) shalat,
dan lebih bersungguh-sungguh (dalam beribadah) dibandingkan para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi mereka lebih baik
(lebih utama di sisi Allah Ta’ala) daripada kalian”. Ada yang
bertanya: Kenapa (bisa demikian), wahai Abu Abdirrahman? Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata: “Karena mereka lebih zuhud dalam (kehidupan) dunia dan
lebih cinta kepada akhirat”[9].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد
وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 27 Syawaal 1431 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin
Taslim al-Buthon, MA
Artikel www.muslim.or.id
[1] HR Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad (5/183),
ad-Daarimi (no. 229), Ibnu Hibban (no. 680) dan lain-lain dengan sanad yang
shahih, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan syaikh al-Albani.
[2] Lihat kitab “at-Targib wat tarhiib” (4/55)
karya imam al-Mundziri.
[3] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam
kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/37).
[4] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab
“Igaatsatul lahfaan” (1/37).
[5] Dalam kitab kitab “Igaatsatul lahfaan”
(1/37).
[6] HSR al-Bukhari (no. 6072) dan Muslim (no.
116).
[7] HSR al-Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no.
1051).
[8] HSR Muslim (no. 1054).
[9] Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam
“al-Mushannaf” (no. 34550) dan Abu Nu’aim dalam “Hilyatul auliyaa’” (1/136)
dengan sanad yang shahih, juga dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam kitab
“Latha-iful ma’aarif” (hal. 279).
[1] HR Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad (5/183), ad-Daarimi (no. 229), Ibnu Hibban (no. 680) dan lain-lain dengan sanad yang shahih, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan syaikh al-Albani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar